Selasa, 24 Juli 2007

Persembahan Persepuluhan

PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

Sebuah Tantangan Praktek Beriman

(Pdt. S.Th. Kaihatu)

Asal-mula Adanya Persembahan

Penelitian antropologi budaya menginformasikan kepada kita bahwa pada mula pertama sekali manusia hidup dalam fase ‘pemetik’. Mereka hidup dari buah buah pohon. Pada masa itu mereka menyembah bumi. Sebab bumi dilihat sebagai ‘Sang Ibu’ yang menghidupi. Fase ini diikuti oleh fase berburu. Mereka memburu binatang untuk dimakan. Karena binatang-buruan itu ‘kelihatannya’ sudah disediakan bumi, maka tetap saja bumi disembah sebagai ‘sang Ibu’ yang menghidupi. Fase ketiga adalah fase pertanian. Apa yang dinikmati dalam fase pertama tadi, seka-rang dibudi-dayakan. Namun ada perobahan penting dalam penyembahan. Dalam budaya pertanian-awal, selain fungsi bumi sebagai tempat bercocok tanam, maka dua hal menjadi mengemuka, yakni hujan dan matahari. Orang menyadari bahwa tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan di bumi. Obyek penyembahan bergeser, dari penyembahan terhadap bumi, menjadi penyembahan terhadap matahari. Dalam rangka ini matahari dilihat sebagai raja dan panglima yang perkasa yang menakluk- kan kegelapan malam. Fase keempat adalah fase penggembala[1]. Apa yang dinikmati dalam fase kedua tadi, sekarang dibudi-dayakan. Tetapi seperti kita mengerti, ternak yang digembalakan tergantung dari rumput, rumput tergantung dari hujan dan hujan tergantung dari matahari, maka obyek penyembahan tetap pada matahari. Bukan pada bumi[2].

Krisis kehidupan nampaknya tidak intens dalam fase pemetik dan fase ber-buru. Sebab pada kedua fase ini kekurangan-pangan dijawab dengan langkah seder-hana, yakni berpindah tempat. Itulah sebabnya kedua fase ini sering disebut sebagai satu fase saja, yakni fase nomaden. Sebetulnya dalam arti sempit, fase penggembalaan ternak juga bisa dipandang sebagai fase nomaden. Sebab dalam fase ini orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rumput dan air bagi hewan gembalaannya. Bedanya adalah bahwa pada fase penggembala sudah ada semacam ‘home base’ kemana mereka pasti akan pulang. Budaya menetap sebetulnya baru benar benar menjadi kenyataan dalam fase pertanian. Jadi sebetulnya fase penggem-bala adalah semacam penghubung antara budaya nomaden dan budaya menetap.

Persoalan muncul ketika terjadi krisis krisis yang menyebabkan hidup menjadi sulit. Ada banjir besar, ada musim kering yang panjang dsb, gunung meletus dsb. Sejak dari agama Purba, orang mengimani, bahwa ada kekuatan penentu kehidupannya dan berada diluar dirinya. Dan guna menyenangkan hati Sang Kekuatan itu, -baik ketika semuanya berhasil dengan baik, maupun ketika terjadi krisis- maka mereka memberikan Persembahan. Entah dari hasil tani, pun ternak pun harta milik. Sejajar dengan perkembangan peradaban, yang kemudian bertambah dengan perniagaan dan bidang bidang lain yang sekarang dikenal sebagai sektor jasa, maka persembahan juga makin bervariasi. Ini kita catat semuanya untuk menggaris-bawahi empat hal.

Pertama, bahwa sekalipun gaya hidup dan gaya mata pencaharian berkembang, tetap saja logika bahwa rejeki melibatkan ‘campur tangan dari suatu kekuatan yang tak terlihat yang berada diatas’ tetap saja berlaku sepanjang sejarah peradaban.

Kedua, bahwa persembahan itu diberikan dari berbagai jenis mata pencaharian yang makin bervariasi. Ketiga, pengaturan terhadap apa yang dipersembahkan itu makin lama makin bervariasi juga. Keempat, ini semua diyakini sebagai kehendak dari kekuatan yang tak terlihat itu.

Persembahan dalam Tradisi Alkitab.

Fase fase antropologi budaya yang dikatakan diatas, terutama fase ketiga dan keempat juga terjadi dikalangan agama-agama Semitik, dalam hal ini agama Yahudi, sejak Israel kuno. Dalam kitab kejadian misalnya kita membaca tentang Kain dan Habil yang mempersembahkan hasil pertanian dan peternakan.

Dalam pemahaman spiritual orang Israel, karena Allah sudah melakukan kebaikan, maka umat mengungkapkan kesaksian mereka tentang apa yang sudah Allah lakukan itu dalam bentuk korban dan persembahan. Umat yang tidak melakukannya akan di-pandang sebagai pihak yang tidak tahu berterimakasih. Sebab Allah telah memberikan berkat secara cuma-cuma pada jalan kehidupan. Inilah gambaran situasi spiritual yang harus kita mengerti, kalau kita mau memahami korban dan persembahan dalam Alkitab.

Di dalam Alkitab kita membaca bagaimana persembahan diterima berdasarkan kwalitasnya. Artinya melalui kwalitas persembahan itu kita bisa melihat sikap hati orang yang memberikan persembahan. Orang yang tulus memberikan yang terbaik untuk dipersembahkan. ‘Menyisihkannya’ sejak awal untuk dipersembahkan. Orang yang tidak tulus, menjadikan persembahan sebagai basa-basi, dan karena itu memberikan apa yang ‘disisakan’ di akhir semuanya sebagai persembahan.

Karena Allah memperhatikan sikap hati inilah, maka persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habil diterima. Terlepas dari apa yang terjadi kemudian, kita belajar satu hal, bahwa, Tuhan Allah melihat sikap hati. Dan karena itu sikap kita ketika memberikan persembahan harus cocok dengan apa yang Tuhan Allah inginkan.

Dalam rangka pembahasan kita pertama sekali kita perlu ingat bahwa ada dua istilah yang sangat dekat penggunaannya dalam Alkitab. Istilah-istilah itu adalah ‘Korban’ dan ‘Persembahan’.

Kalau istilah korban digunakan, maka itu pasti menyangkut sesuatu yang disembelih. Ada darah di sana. Sementara kalau istilah persembahan digunakan, maka tidak harus ada yang disembelih. Jadi istilah persembahan lebih luas jangkauannya dari istilah korban.

Kita perlu mengenal lebih dahulu jenis jenis korban dan persembahan dalam tradisi Alkitab, sebab dengan demikian kita juga akan memahami makna korban dan persembahan itu sendiri. Karena banyaknya, kita ikhtisarkan saja sebagai berikut:

1. Korban Pendamaian

Dilakukan untuk meminta pendamaian bagi dosa dosa yang tidak disengaja (Bil. 15/22 ff). Ini tidak berlaku bagi dosa yang disengaja (Bil 15/30-31). Ini adalah korban yang diberikan untuk meminta pendamaian atas dosa-dosa yang dilakukan. Dengan melakukan perbuatan dosa, manusia lalu menjadi seteru Allah. Dalam posisi itu manusia berhutang nyawa pada Allah. Nyawa itu dilambangkan dengan darah. Maka yang harus terjadi adalah penebusan yang dilambangkan dengan darah juga, sebagai cara pendamaian. Korban Pendamaian ini terbagi atas dua jenis:

a. Korban Penghapus Dosa

Dilakukan untuk untuk memperbaiki kembali hubungan dengan Allah dan untuk menebus dosa.

b. Korban Penebus Salah

Berhubungan dengan pertobatan seseorang yang telah mencuri milik sesamanya, atau juga lalai membayar nazar atau tidak membayar iuran kepada Imam. Mirip dengan korban penghapus dosa. Sebelum hewab korban disembelih, orang yang merasa dirinya berdosa, harus meletakkan tangannya pada kepala hewan tersebut sebagai lambang bahwa dia menyerahkan dosanya untuk ditanggung oleh binatang tadi.

Dalam Imamat 4 – 7 kita membaca sejumlah aturan tentang korban penghapus dosa dan korban penebus salah ini.

2. Korban Pemujaan

a. Korban Bakaran

Lambang penyerahan diri kepada Allah ( Im.1)

b. Korban Keselamatan

Sama dengan Korban bakaran, tapi hanya lemaknya yang dibakar (Im.3; 7/11-12, 28 – 34).

i. Korban Puji-pujian

Tanda terimakasih atas karunia karunia Tuhan

ii Korban Nazar

Dipersembahkan dengan suatu janji secara sukarela, akan tetapi begitu janji diucapkan, maka Tuhan Allah menagih janji itu agar ditepati (Ul 23/21-23)

iii. Korban Sukarela

Dipersembahkan dengan sukarela tanpa suatu janji

c. Korban Sajian

Dipersembahkan sebagai tambahan pada korban bakaran dan korban sembelihan sebagai lambang persembahan hasil bumi. (Im 2; 7/12 -14; Ul 15/ 3 – 10)

Tentu saja kita bisa memperdalam dan menemukan jenis korban lain juga seperti korban perjanjian, korban kecemburuan dan lain lain lagi. Namun hal korban bukanlah focus kita. Ikhtisar diatas sebetulnya hanya mau menunjukkan betapa banyak kelemahan manusiawi kita yang ditanggung oleh korban satu pribadi saja, yakni Yesus Kristus. Sehingga melalui Dia kita terbebas dari rumitnya korban korban khas Perjanjian Lama.

Sementara itu mengenai hal Persembahan, ternyata banyak sekali bentuknya.

Karena banyaknya kita akan sebutkan beberapa saja.

Pertama. Persembahan dalam arti umum. Persembahan ini adalah pemberian berupa uang atau harta benda lainnya bagi pekerjaan Tuhan. Kita temukan ini misalnya untuk pembuatan kemah Suci (Kel. 35/5) atau juga untuk menolong sesama orang miskin . (Kis. 24:17).

Kedua. Persembahan pagi dan petang atau persembahan tetap (Kel 29/38). Persembahan ini berhubungan dengan pengakuan bahwa Tuhan Allah sendirilah yang menuntun umatnya keluar dari penderitaan. Dan tetap bersedia berdiam diantara mereka. Persembahan ini dilakukan dalam berbagai variasi, dengan nama-nama yang berbeda, sesuai dengan tekanan peristiwanya. Misalnya persembahan cucuran atau persembahan curahan.

Ketiga. Persembahan Khusus, yakni sesuatu yang dipisahkan untuk Tuhan. Karena umat menatang, menimang atau mengunjuk persembahan ini, maka persembahan ini disebut juga persembahan tatangan, persembahan timangan atau persembahan unjukkan. Kita membaca tentang persembahan persem-bahan ini dalam Kel 25/2; 29/ 24 – 28 ; Bil 18/8, 19; Neh. 12/44; dan banyak lagi bagian Alkitab yang menunjuk pada hal tersebut.

Keempat. Persembahan Pentahbisan. Ini khususnya berhubungan dengan pentahbisan Imam (Im 8/22-31).

Seluruh persembahan-persembahan yang disebutkan tadi, tergolong dalam persembahan pemujaan. Persembahan persembahan yang mengungkapkan peng-akuan bahwa tanpa Tuhan umat tidak akan menerima berkat, tetapi sekaligus jawaban terhadap tantangan kehidupan, bahwa hidup orang percaya, aman dalam tangan Tuhan. Salah satunya yang sering masih menjadi kontroversi ada-lah Persembahan Persepuluhan.

Persembahan Persepuluhan

Kita tiba pada bagian yang sekarang merupakan pokok pembicaraan kita. Topik persembahan persepuluhan ini telah menimbulkan semacam kontroversi dan dilemma di GPIB. Dikatakan kontroversi karena ada banyak orang yang tidak menyetujui adanya persembahan persepuluhan. Mereka melihat ini dari segi ekonomis memberatkan. Mereka melihat ini sebagai semacam pajak dalam bergereja. Mereka juga melihat ini memberatkan karena sudah ada PTB segala. Dikatakan dilemma, karena banyak gereja dan warga gereja juga mengatakan bahwa GPIB bukanlah gereja yang benar, karena tidak menjalankan perpuluhan. Malahan banyak warga GPIB yang memper- sembahkan persepuluhan di gereja lain karena di GPIB sendiri tidak diberlakukan persembahan persepuluhan.

Kontroversi dan dilemma ini makin ramai karena ada kenyataan bahwa ada warga Gereja yang mempersembahkan perpuluhannya kepada Yayasan, Lembaga tertentu, malahan kepada Pendeta atau Hamba Tuhan yang melayani. Dan yayasan, lembaga, apalagi hamba Tuhan ini merasa, kalau itu sebagai berkat, dan menikmatinya.

Beberapa Praktek Persembahan Persepuluhan dalam Alkitab

Praktek Persepuluhan kita baca dalam berbagai bagian Alkitab, terutama Kitab Perjanjian Lama. Kenyataan ini bisa kita fahami karena Umat Israel sangat menekankan hal hal ritual yang dalamnya ada korban dan persembahan, sementara semuanya itu menuju kepada Yesus Kristus. Namun itu tidak berarti bahwa masyarakat Perjanjian Baru tidak melaksanakan persembahan sama sekali. Bisa dikatakan bahwa orang Kristen pertama pasti masih mengikuti tradisi Yahudi, kecuali dalam satu hal yakni korban yang berdarah. Tradisi perjanjian Baru itu yang kemudian sampai kepada kita, termasuk persembahan persepuluhan.

Pemberian persepuluhan sebagai persembahan kita baca pertama sekali dalam Kejadian 14/20[3]. Dikatakan di sana, bahwa seorang raja bernama Melkisedek, sekaligus imam Allah yang Maha tinggi, keluar menyambut Abram, setelah Abram berhasil mengalahkan banyak raja-raja lain yang menawan Lot seke-luarga. Dan Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya

Nama Melkisedek itu berarti ‘Raja Kebenaran’. Nama itu berasal dari dua patah kata: Melekh yang berarti Raja, dan Tzadik yang berarti kebenaran atau kebi-jaksanaan. Maka, mereka yang membaca ayat ini dengan mendalam akan mengerti, bahwa Abram memberikan sepersepuluh dari semua yang dia dapat dari perang mengalah-kan para raja, kepada Raja Kebenaran yang adalah Imam Allah Yang Maha-tinggi’. Mudah-mudahan jelas bagi kita -yang menghubungkan gelar Raja dan Imam pada orang yang sama- bahwa ini adalah Tuhan sendiri.

Abraham -Bapa orang beriman- memberikan sepersepuluh dari pendapatannya kepada Tuhan. Ini data pertama tentang persepuluhan, yaitu bahwa orang beriman memberikan persepuluhan kepada Tuhan dari semua hasilnya.

Dalam Kejadian 28/22 kita membaca bahwa setelah mengalami mimpi di Betel, Yakub berjanji, bahwa dia akan mempersembahkan sepersepuluh dari semua yang Tuhan berikan kepadanya kelak. Perhatikanlah kenyataan yang luar-biasa ini. Yakub waktu itu barulah seorang pelarian. Dia tidak memiliki apa- apa. Tapi dia bernazar tentang persepuluhan.

Orang beriman bernazar atau berjanji bagi Tuhan untuk memberikan perse-puluhan dari semua hasilnya kepada Tuhan, justru ketika dia masih dalam usaha untuk mencapai hasil.

Dalam uraian kepada orang Ibrani[4] (Ibr 7/9) kita membaca kenyataan yang menarik. Suku Lewi -karena tidak mendapat pembagian tanah- berhak atas persepuluhan. Dari persembahan itulah mereka hidup. Dengan kata lain orang Lewi mendapat penghasilan dari persembahan persepuluhan umat. Namun dari mereka pun -karena mereka keturunan Abraham, ditarik juga persembahan persepuluhan.

Kita harus mengatakan kenyataan yang jujur ini. Bahwa tidak seorangpun bisa mengatakan diri bebas dari persembahan persepuluhan sekalipun dia hidup dari persembahan persepuluhan itu sendiri.

Dalam II Tawarikh pasal 31, kita membaca bagaimana Raja Hizkia memerin-tahkan agar Israel hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dalam rangka itu Hizkia mengatur pengumpulan dan pendistribusian persembahan. Termasuk didalamnya persembahan persepuluhan. Sang Raja juga ikut membayar kewajibannya. Ayat ayat terakhir dari pasal 31 ini menyimpulkan bahwa begitulah Hizkia bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan dan karena itu dia berhasil dalam semua usahanya.

Kita melihat kenyataan menarik bahwa ada hubungan antara pemberian persembahan -termasuk dalamnya persembahan persepuluhan- sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, dan keberhasilan dalam usaha.

Dalam Nehemia pasal 13 kita membaca, bagaimana dalam ketaatannya kepada hukum -Taurat- Nehemia melakukan hal yang sama dengan Hizkia yang disebutkan diatas, termasuk hal persembahan persepuluhan umat dan segala pengaturan persembahan yang lain juga. Dengan cara itu kehidupan umat itu kembali benar di mata Tuhan.

Kita belajar bahwa ada memang banyak hal yang menunjukkan kepautuahn kita terhadap kehendak Tuhan. Dan persembahan persepuluhan merupakan salah satu yang signifikan diantara semua itu.

Perjanjian Baru memberikan tanda yang jelas bahwa Persembahan Persepuluhan berlaku. Sejumlah orang yang membayarnya melakukan hal itu dalam kemunafikan, sehingga ditegur[5] oleh Yesus (Mat. 23/23; Luk 11/42; 18/12).

Pada akhirnya kita harus melihat kenyataan Jemaat- Jemaat Pertama. I Kor 9/ 7-14[6], 16/2[7], II Kor 8/1 -15[8], Gal 6/6[9]; I Tim 5/17-18[10] dan Ibr 7, semuanya menunjukkan bahwa hal persembahan persepuluhan tidak asing dalam Jemaat jemaat pertama. Justru sejajar dengan itu kita melihat juga bahwa ‘korban berdarah’ seperti yang jelas dalam tradisi makin memudar.

Kita belajar bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Perjanjian Baru yang memba-talkan atau yang mengusulkan penggantian pemberian Persembahan Persepu-luhan.

Doktrin Persembahan Persepuluhan Dalam Alkitab

Dari praktek yang diuraikan diatas, kita lalu bisa mengatakan bahwa ada dua fase yang bisa kita baca dalam keseluruhan Alkitab tentang persembahan persepuluhan. Fase pertama adalah Fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan hukum hukum Musa. Fase kedua adalah fase Perjanjian Baru yang ditandai dengan ajaran Yesus dan surat surat Pastoral, terutama surat surat Paulus.

Dalam fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan Hukum Hukum Musa kita melihat beberapa hal penting yang bisa kita catat.

Pertama, Persembahan Persepuluhan itu diperintahkan sebagai sesuatu yang diharus-kan. (Im. 27/30; Mal.3/10).

Kedua, Persembahan Persepuluhan itu diberikan dengan beberapa kepentingan.

1 Untuk Orang Lewi (Bil 18/21 -24)

Orang Lewi tidak mendapat tanah sebagai milik pusaka. Mereka ditugas-kan untuk hal hal menyangkut Bait Allah. Karena itu mereka hidup dari persembahan persepuluhan umat.

2. Sepersepuluh dari sepersepuluh yang diberikan pada orang Lewi itu harus

mereka persembahkan sebagai persembahan persepuluhan mereka (Bil. 18/26; Neh 10/37; 12/44).

Jadi, sekalipun orang Lewi hidup dari persembahan persepuluhan, namun mereka tidak bebas dari hal mempersembahkan persembahan persepu-luhan itu sendiri.

3. Sepersepuluh dari persembahan persepuluhan setiap tiga tahun sekali diberikan kepada orang asing/miskin, orang Lewi, para janda dan anak yatim (Ul. 14/27-29; 26/12 – 14).

Dengan demikian jelas sekali bahwa peruntukan persembahan persepuluh-an adalah untuk menolong mereka yang sengsara.

4. Persembahan Persepuluhan itu untuk menjadi Persediaan di rumah Tuhan (Mal. 3/10).

Istilah Rumah Tuhan disini menunjuk pada Institusi atau persekutuan yang harusnya menjadi pelaksana kasih Allah dalam penggunaan persem-bahan Persepuluhan itu.

5. Persembahan Persepuluhan diberikan sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap Tuhan Allah (Ams. 3/9-10)

Hasil pertama yang disisihkan selalu berhubungan dengan persembahan Persepuluhan. Mempersembahkannya berarti memuliakan Tuhan sebagai penjamin berkat dalam kehidupan.

Ketiga waktu untuk membawa persembahan persepuluhan itu adalah secara tahunan, bersamaan dengan semua persembahan yang lain untuk upacara Hari Raya (Ul 12/6-7; 14/22-26).

Keempat bahwa Persembahan Persepuluhan itu adalah Milik Allah dan bukan milik orang yang mempersembahkannya (Im. 27/30 – 34; Mal 3/8).

Kelima kemana persembahan Persepuluhan itu harus di bawa, yakni ke rumah Tuhan (II Taw. 31/12; Neh. 10/38; 12/44; 13/5, 12; Mal 3/10).

Keenam, kalau persembahan persepuluhan itu dipinjam, maka ketika dibayar harus ditambahkan kepada pinjaman itu seperlima atau dua persepuluh. Dengan demikian keseluruhan yang dikembalikan adalah tiga persepuluh (Im 27/31)

Ketujuh kalau ditukar, maka yang ditukar berikut tukarannya harus dibayar (Im 27/33).

Dengan demikian jelaslah bahwa bagi dunia Perjanjian Lama, Persembahan Persepuluhan merupakan bagian dari hukum kehidupan, dalam hal ini, Hukum Taurat.

Dalam Fase Perjanjian Baru ketika Yesus Kristus mengajar maka Yesus Kristus juga menyinggung persembahan persepuluhan.

Kita bisa melihat tanggapan Yesus itu dalam Mat 23/23; Luk 11/42; Bd Mat 5/20 dgn Luk 18/11-12; Lihat juga Mat 10/10; Luk 16/16. Kesulitan kita adalah kebiasaan yang sifatnya ‘konkordatif’[11] dalam memahami Alkitab. Padahal, terhadap pertanyaan apakah Tuhan Yesus mempersembahkan persembahan persepuluhan, maka acuan kita mestinya bukan hanya kata kata ‘persepuluhan’ yang keluar dari mulut Tuhan Yesus. Sebagai putera Yahudi, pasti Yesus memberikan persembahan persepuluhan, sebab hal itu dilakukan sebagai hukum kehidupan keagamaan khas Yahudi. Maka kata kata Tuhan Yesus dalam Mat 5 : 17 – 20 bagi kita mestinya berarti bahwa bukan hanya Yesus, tetapi juga para muridNya adalah pelaksana pelaksana persembahan Persepuluhan.

Selain Yesus, Rasul Paulus juga bicara tentang hal yang sama:

1. Mengkritik pelanggaran terhadap hal hal yang menyangkut hal hal yang tabu

untuk dilakukan (Rm 2/22) atau perampokan terhadap Bait Suci (Mal 3/8 – 10)

dan penggunaan benda benda suci (Im 27)

2. Bahwa pengajar yang harus di beri bayaran (Gal. 6/6)

3. Bahwa Tuhan Allah menetapkan bantuan bagi para pelayanNya (I Kor 9/7-14, I

Tim 6/ 17-18).

4. Orang Kristen juga harus memberi sebab Allah sendiri telah memberkati mereka

dengan banyak berkat (I Kor 16/2).

5. Keturunan Abraham -terutama secara iman- harus berjalan dalam jejak jejak

iman yang dicontohkan Abraham.

6. Imamat Melkisedek adalah kekal dan karena itu harus dipelihara oleh keturunan

Abraham (Ibr 6/20; 6/1-11, 17, 21).

7. Persembahan Persepuluhan adalah bukti kepatuhan dan penghargaan atas berkat

berkat Tuhan (Rom 4/12; Ibr 7/6 -10; I Kor 9/ 7 – 14; I Tim 6/17 – 18; Bd. Mal

3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; Kej 14/20; Ul 8/10 – 20).

Berkat-berkat Berhubungan Dengan Persembahan Persepuluhan.

Alkitab juga bicara tentang berkat berkat, berhubungan dengan persembahan persepuluhan ini.

  • Berkat karena kepatuhan ( lihat diatas )
  • Rumah Tuhan tidak akan mengalami kekurangan (Mal. 3/10), sehingga tetap bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
  • Pelayan pelayan Tuhan tidak akan kelaparan (I Kor. 9/7 – 14; I Tim 5/17 – 18; Neh 13/8 – 10; Mal. 3/8 – 10.
  • Berkat material dan spiritual (Mal 3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; II Taw 31; Neh 13).

Ada baiknya kita membuat beberapa kesimpulan sederhana tentang petunjuk petunjuk Alkitab yang sempat kita kumpulkan diatas.

Pertama jelas sekali bahwa persembahan persepuluhan itu punya dasar dalam Alkitab. Tokoh tokoh Alkitab mempraktekkannya dan mengajarkannya.

Kedua, jelas juga bahwa persembahan persepuluhan itu diharuskan oleh Alkitab. Ini berarti diperintahkan oleh Tuhan sendiri. Dan perintah Tuhan itu belum pernah dibatalkan.

Ketiga, bahwa persembahan persepuluhan itu bukan beban melainkan identi-tas umat beriman, sehingga harusnya dilakukan dengan sukacita. Bukan dengan rasa tertekan.

Keempat, persembahan Persepuluhan adalah milik Tuhan dalam keseluruhan berkat yang Tuhan berikan bagi umatNya. Dengan kata lain dalam berkat berkat kita ada bagian Tuhan sendiri yang harus disisihkan.

Kelima, dengan demikian dalam memberikan persembahan Persepuluhan kita harus sadar bahwa kita memberikan apa yang punya Tuhan. Bukan sedang menyumbang atau memperkaya institusi persekutuan orang percaya.

Keenam, jelas bahwa persembahan Persepuluhan itu dibawa ke Rumah Tuhan sebagai representasi persekutuan umat. Dan karena itu tidak ada alasan untuk memberikannya kepada pribadi, yayasan atau lembaga.

Ketujuh, penggunaan persembahan Persepuluhan itu oleh Institusi mestinya berakibat pelayanan yang lebih baik lagi sehingga institusi makin mampu membagikan kasih Allah bagi makin banyak orang.

Kedelapan, adalah salah -bahkan dinilai sebagai upaya menipu Tuhan- kalau orang mengabaikan persembahan persepuluhan. Bahwa ada persembahan lain, itu tidak meniadakan persembahan persepuluhan, sebagai sesuatu yang khusus.

Kesembilan mereka yang memberikan persembahan Persepuluhan, baik sebagai pribadi maupun sebagai persekutuan, diberkati oleh Allah. Namun harus jelas bahwa orang tidak bisa menyogok Tuhan Allah dengan memberikan persembahan persepuluhan.

Kesepuluh persembahan Persepuluhan itu berlaku bagi orang percaya disegala tempat dan segala zaman.

Pergumulan Pergumulan Kontemporer

Pergumulan kontemporer yang umum adalah bagaimana memahami persem-bahan Persepuluhan begitu rupa sehingga sekalipun kita berada pada era niaga dan sektor jasa, namun persembahan persepuluhan sebagai praktek beriman tetap bisa dilaksanakan dengan baik dan benar. Harus dikatakan bahwa secara umum, perkem-bangan perkembangan membuat kita tertolong. Misalnya saja tentang waktu pembe-rian persembahan persepuluhan itu. Jelas sekali bagi dunia Perjanjian Lama, itu diberikan secara tahunan. Ini karena latar-belakang pertanian dan penggembalaan. Dalam masyarakat seperti itu penghasilan baru akan jelas kelihatan secara tahunan. Dewasa ini kita tidak lagi harus menunggu setahun, tetapi bisa kita lakukan setiap bulan. Karena penghasilan kita -kecuali didaerah pertanian tradisional- adalah penghasilan bulanan, maka persembahan Persepuluhan juga harus diberikan setiap bulan. Misal yang lain adalah bahwa -lagi lagi kecuali di daerah pertanian yang sangat tradisional- kita tidak usah lagi membawa persembahan Persepuluhan dalam bentuk hasil pertanian atau peternakan. Kita bisa melakukannya dalam bentuk uang.

Pergumulan kontemporer khas Gerejawi ternyata lebih rumit dari pergumulan kontemporer yang umum. Dan salah satu contohnya adalah GPIB sendiri. Dalam hubungan ini barangkali kita mau melihat sejumlah -pasti tidak semua- pergumulan khas GPIB tentang persembahan persepuluhan.

Pergumulan awal tentang persembahan persepuluhan ada dua.

Yang pertama adalah apakah persembahan persepuluhan itu masih tetap wajib setelah Perjanjian Baru?. Jawaban tentang hal ini jelas. Bahwa fakta Yesus sebagai putera Yahudi dan Paulus yang banyak surat pastoral tidak pernah membatalkan ataupun mengganti persembah-an Persepuluhan. Darah Yesus di Golgota membatalkan korban korban berdarah. Bukan membatalkan persembahan Persepuluhan.

Pergumulan awal yang kedua adalah pertanyaan, apakah ini semacam ‘pajak’ bagi Gereja?. Jelas jawabnya tidak. Perlu diketahui bahwa dikalangan masyarakat seputar Israel sendiri ada yang memang menarik persepuluhan dari rakyat mereka. Ada yang ditarik untuk kepentingan Raja, ada yang ditarik untuk kepentingan tentara. Justru dalam Alkitab persepuluhan ditarik oleh Bait Allah yang tidak mempunyai kekuatan duniawi seperti Raja dan tentara. Tapi mengapa ini terus berjalan? Jawabnya, karena persembahan persepuluhan itu membuat persekutuan makin mampu membuat makin banyak orang mengalami belas-kasihan Allah.

Setelah pergumulan utama diatas, muncul berbagai pergumulan yang tak kurang beratnya, dibandingkan dengan pergumulan awal diatas. Berikut ini mau dicatat beberapa saja dari kebiasaan yang salah[12].

  • Kebiasaan salah pertama adalah mempersoalkan Persembahan Persepuluh-an dalam hubungan dengan PTB. Jawabnya sederhana. PTB itu terjadi karena GPIB belum mampu menerapkan aturan Alkitab yang namanya persepuluhan. Dalam Persidangan Sinode Tahun 2000 GPIB mulai memperhatikan hal persembahan persepuluhan ini[13]. Tapi dalam Persidangan Sinode Istimewa tahun 2004, GPIB makin bertobat dalam arti berusaha sebagai gereja untuk memberlakukan prinsip prinsip Alkitab, termasuk tentang persepuluhan[14]. Apakah PTB masih ada?. Jawabnya, masih ada dalam masa transisi. Tapi kita menuju ke persepuluhan. Apakah harus dobbel, PTB dan persepuluhan?, jawabnya tidak perlu. PTB itu aturan GPIB, Persepuluhan itu aturan Tuhan. Sekarang GPIB mengajak seluruh umatnya untuk mematuhi aturan Tuhan. Konkritnya, kalau sekarang kita melaksanakan Persepuluhan apakah kita boleh mengabaikan PTB?. Jawabnya, boleh sekali. Kalau ada yang mau tetap mempersembahkan PTB selain Persembahan Persepuluhan?. Boleh saja. Kalau ada yang mengangkat Persepuluhan, kemudian membaginya atas berbagai macam, termasuk PTB?. Jawabnya ya tidak boleh. Persepuluhan ya persepuluhan. Apakah tidak takut kolekte berkurang? Jawabnya, kalau kolekte berkurang tapi persembahan Persepuluhan bertambah, maka yang akan terjadi adalah saldo tambah. Bukan saldo kurang!.

Kebiasaan salah yang kedua, sebagaimana disinggung di atas adalah, adanya sejumlah orang yang mengklaim diri sebagai berhak atas persepuluhan, dan tidak mau memberikan persepuluhan. Sedihnya, orang orang ini sering adalah fungsionaris fungsionaris ibadah, termasuk lembaga atau yayasan independent yang bergerak dalam bidang yang sama. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab. Ada sejumlah orang dengan roh materialistik yang mau memanipulasi Firman, khususnya mengenai persepuluhan. Jangan berikan kesempatan kepada orang-orang seperti ini. Kita harus menjaga agar jangan ada fungsionaris pelayanan gereja yang materialistik, dan ingin mengambil keuntungan dari persepuluhan. Tetapi kita juga harus mengingatkan umat agar jangan menjadi pelit kepada Tuhan lalu ‘menipu’ milik-Nya sendiri, yakni hak Tuhan atas persepuluhan. Kalau jelas bahwa Suku Lewipun harus memberikan persembahan Persepuluhan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa para fungsionaris pelayanan -termasuk pendeta yang hidup dari persembahan umat- tidak bisa membebaskan diri dari ketentuan Persembahan persepuluhan. Kitab Nabi Maleakhi 3:8–10 secara jelas mengatakan, bahwa orang yang tidak mempersembahkan persepuluhan dia menipu Tuhan. Kalau hidup seorang penipu terus-menerus bermasaalah dan berkekurangan, apalagi seorang penipu Tuhan. Besar kerusakannya.

Kita telah melihat data Alkitab yang persis, bahwa yang menjadi terminal terakhir Persembahan persepuluhan, adalah Rumah Tuhan. Dengan begitu yang dimaksud adalah persekutuan setempat dimana orang beribadah. Tidak ada data bahwa seorang dari Hebron memberikan persembahan persepuluhan ke Yerikho misalnya. Karena itu, maka juga tidak benar apabila seorang warga jemaat GPIB di Jakarta, mengirimkan Persembahan persepuluhannya ke GPIB lain di pos pelkes. Yang benar adalah GPIB tersebut di Jakarta -sebagai persekutuan- membantu GPIB di Pos Pelkes juga sebagai persekutuan.

Kebiasaan salah yang ketiga adalah, memberikan persepuluhan secara tahunan. Telah diuraikan diatas tadi, perbedaan pola penghasilan di Israel zaman PL dengan sistim kita yang bulanan. Maka persembahan persepuluhan juga seyogyanya diberikan secara bulanan. Kalau masih diberikan secara tahunan sebetulnya persepuluhan itu dipandang sebagai semacam PTB. Maka akan aneh kalau diumumkan, bahwa persepuluhan pak anu bulan September sekian, padahal beliau telah almarhum dibulan Juni!.

Kebiasaan salah keempat adalah angka persepuluhan yang mutlak harus sama. Justru tidak harus sama. Angka persepuluhan bisa fluktuatif, tergantung penghasilan. Disini kadang kadang ‘kedagingan’ masih bermain peranan. Seorang yang biasanya memberikan sekian, merasa ‘tidak-enak’ kalau bulan ini hanya memberi sekian. Padahal yang terjadi adalah perusahannya tutup, dia baru pension, panennya gagal dsb. Jangan merasa risih kalau penghasilan bulan ini lebih rendah dari bulan lalu. Adalah menyedihkan kalau dalam memberikan persembahan persepuluhan kita mencari kehormatan di mata manusia, sementara di mata Tuhan Allah kita justru butuh pertolongan.

Kebiasaan salah kelima adalah pemahaman tentang penghasilan yang sepersepuluhnya dipersembahkan. Sebetulnya persembahan persepuluhan adalah hal yang sangat pribadi. Penghasilan adalah penghasilan dan bukan modal kerja. Tegasnya, uang makan dan uang transport baik yang regular maupun karena penugasan khusus, bukanlah penghasilan dan karena itu tidak kena aturan persepuluhan. Mengapa demikian?. Karena modal kerja adalah benih. Bukan hasil. Persepuluhan tidak pernah dipersembahkan dari benih. Persepuluhan dipersembahkan dari hasil. Masalah kita memang menjadi rumit karena kemajuan. Yang pertama ada pekerjaan yang hanya memberikan gaji secara total, tanpa memperhitungkan transportasi, makan siang dsb. Pokoknya, sekian. Kalau ini yang terjadi, maka pribadi yang bersangkutan harus menghitung sendiri berapa penghasilan sesungguhnya. Dengan demikian kita terhindar dari kasus Ananias dan Safira. Yang kedua ada pekerjaan yang gajinya diberikan lewat rekening Bank. Jadi tidak ada amplop yang pulang kerumah untuk membuat Ibu rumah tangga membuat perhitungan. Penyelesaiannya sama saja. Hitung, dan jangan menjadi seperti Ananias dan Safira. Tentu saja ada orang yang mengangkat persepuluhan dari keseluruhannya, karena merasa semuanya adalah penghasilan. Boleh boleh saja.

Kebiasaan salah keenam adalah, sikap masa-bodoh terhadap pemeriksaan yang berdasar dalam pemahaman yang salah tentang Firman. Memang Tuhan Yesus mengatakan bahwa apa yang diberikan dengan tangan kanan, tidak usah diketahui tangan kiri. Ini benar kalau berarti bahwa kita tidak usah mempersoalkan untuk program yang mana persepuluhan digunakan, sebab ini kesepakatan program pelayanan. Akan tetapi kita wajib mencek apakah persembahan persepuluhan kita memang telah sampai ke perbendaharaan rumah Tuhan. Dan untuk itu, kita harus memeriksanya lewat warta keuangan. Namun kadang kadang terjadi ekstrim yang lain juga. Justru karena kita melihat ketidak-beresan management gereja sebagai institusi lalu kita batal memberikan persembahan Persepuluhan. Jawabannya sederhana. Perbaiki managementnya dan tuntut agar terus terjadi perbaikan. Tapi kalau kita berpikir bahwa karena manusianya salah maka hak Tuhan kita tahan dulu, rasanya kita salah dan tidak logis juga. Lain orang yang melakukan kesalahan, lain orang yang menerima ‘getahnya’.

Kebiasaan salah ketujuh adalah, penolakan secara mentah-mentah terhadap persembahan persepuluhan, karena memang tidak mau. Ada yang karena berpikir bahwa Gereja justru punya banyak uang. Ada yang berpikir bahwa dengan memberikan persembahan persepuluhan dia melayani hasrat materialistik institusi. Ada yang memang sayang akan uangnya. Namun ada juga yang menolaknya karena memandang dirinya begitu berkekurangan sehingga dia yang justru perlu dibantu. Orang seperti ini membutuhkan sejumlah pengalaman dari Tuhan untuk lebih beriman. Sebab ini bukan soal kaya-miskin. Ini soal ketaatan. Catatan kecil yang Tuhan Yesus berikan tentang janda miskin sangat menarik perhatian. Seorang janda, yang justru di bela oleh institusi Bait Allah, tetap memberikan persembahan. Tuhan ingin kita jujur dihadapan-Nya. Penerima bantuan diakoni tidak bebas dari persembahan persepuluhan.

Kebiasaan salah yang kedelapan yang menyangkut hampir seluruh umat adalah pada satu sisi pengabaian terhadap penilaian kinerja fungsionaris pelayanan, dan pada sisi yang lain, pengabaian terhadap program pelayanan itu sendiri. Suatu proses introspeksi diri yang serius dibutuhkan baik pada pribadi, mekanisme kerja, maupun beban program yang harus dilayani. Dengan demikian, persembahan umat mencapai maksudnya. Harap jelas bahwa kita bukan hanya menangani persembahan orang. Kita juga menangani ‘doa’ orang sejajar dengan persembahan itu.

Catatan catatan berikut akan dibuat justru setelah kita selesai pembahasan. Sebab pembahasan ini memang disempurnakan oleh catatan demi catatan dari jemaat ke jemaat.

Estehaka.-




[1] Istilah penggembala digunakan disini untuk membedakannya dari peternakan modern, dimana ternak ditempatkan ditempat yang tetap, tidak berpindah pindah. Dalam fase penggembala, tenaknya berpindah pindah mengikuti gembala yang mencarikan rumput dan air untuk ternak gembalaan.

[2] Dan Brown, penulis novel The DaVinci Code yang terkenal itu mengeksplorasi fakta antropologis ini untuk mengatakan bahwa model penyembahan sekarang yang berorientasi ‘ke atas’ adalah penyim-pangan. Penyembahan harus dikembalikan ke bawah. Dari sini dia memanfaatkan euphoria feminisme dan menuduh agama sekarang merupakan semacam penjajahan kaum maskulin. Ujung ujungnya yang harus disembah -menurut Brown- adalah Maria Magdalena dan bukan Yesus.

[3] Urutan surat dalam Alkitab yang digunakan disini adalah sebagaimana yang digunakan Gereja. Argumentasi akademis tentang tua-muda nya naskah asli sengaja tidak diperhitungkan.

[4] Penulis Surat Ibrani menuliskan suratnya kepada orang Kristen yang berlatar-belakang Yahudi dan karena itu pasti menggunakan latar belakang keyahudian, yang sekaligus berarti hubungan erat dengan Ibadah Israel juga.

[5] Yesus menegur mereka karena mereka mengabaikan kasih, dan menggunakan hal persem-bahan persembahan mereka -termasuk persepuluhan- sebagai semacam hak untuk menjadi sombong-rohani dihadapan Allah. Tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa Yesus tidak bersetuju dengan per-sembahan persepuluhan. Kita malahan harus mengatakan bahwa sebagai putera Yahudi yang taat, Yesus pasti mempersembahkan persembahan persembahan, termasuk persembahan persepuluhan.

[6] Disini Paulus bicara tentang hak dan kewajiban Rasul. Khusus dalam ay 13 Paulus menunjuk pa-da hak dan kewajiban suku Lewi yang ditopang oleh persembahan -termasuk persembahan persepuluhan- umat, namun Paulus sendiri menolak menggunakan hal itu.

[7] Paulus menganjurkan agar pada hari pertama tiap minggu pengumpulan uang bagi orang kudus dilaksanakan sesuai dengan perolehan umat. Persembahan itu harus disisihkan secara sengaja. Ini menun-juk secara jelas kepada Persembahan Persepuluhan.

[8] Disini Paulus mengajak orang Korintus agar meniru iman orang Makedonia, yang sekalipun ber-ada dalam kesulitan, tetap melaksanakan tugas iman mereka dalam bentuk persembahan. Tentu saja di-dalamnya termasuk persembahan persepuluhan.

[9] Kembali anjuran untuk membantu mereka yang memberikan ajaran dengan jalan membagikan kepada pengajar, apa yang ada pada yang diajar. Kembali kita melihat tugas dan peranan persembahan persepuluhan disini.

[10] Sama dengan Gal 6/6, hanya disini dikatakan secara lebih eksplisit, malahan para pengajar adalah penatua.

[11] . Kebiasaan konkordatif yang dimaksudkan adalah memeriksa kedalam konkordansi, apakah ada kata yang berhubungan dengan permasalahan secara eksplisit dalam ayat Alkitab. Kalau tidak ada, maka dianggap bahwa Alkitab tidak mempersoalkannya. Dalam pendekatan holistic, dimana semua hal di pertimbangkan, maka tafsiran Alkitab menjadi lebih dekat pada aslinya.

[12] Khusus mengenai inventarisasi kebiasaan yang salah ini, dirangkum dari berbagai pertanyaan lewat rubrik dalam Warta Jemaat. Karena itu inventarisasi ini bisa berubah dari jemaat ke Jemaat, entah bertambah, entah berkurang.

[13] Lihat buku Ketetapan PS XVII hal 98

[14] Lihat Ketetapan PSI tahun 2002 hal 46 dan 54.

Teologi Publik


Membangun sebuah teologi publik GPIB dalam rangka menghadapi tantangan konteks Indonesia masa kini.
Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.
Pendahuluan
Kita bertemu untuk membicarakan Tata Gereja. Bagian-bagian pertama dari Tata Gereja memuat Pemahaman Iman, yang disusuli oleh Tata Dasar. Kalau boleh dibandingkan dengan UUD 45, maka Pemahaman Iman itu dapat dibandingkan dengan Mukadimah yang memuat nilai-nilai (yang tidak dapat diubah), sedangkan Tata Dasar merupakan strategi yang kiranya dapat berlaku untuk waktu yang cukup lama, sebelum mengalami perubahan oleh karena tuntutan konteks. Strategi ini sekaligus merupakan perkenalan diri atau self-definition GPIB. Berarti di sini kita berbicara mengenai "Eklesiologi". Namun sebagai gereja Tuhan, maka kita tidak mulai dengan memperkenalkan siapa diri kita. Kita mulai dengan memperkenalkan siapakah Tuhan Yesus Kristus, yang telah mengerjakan keselamatan bagi dunia ini, dan yang telah mengajak kita untuk ambil bagian dalam Kerajaan Allah yang berkeadilan dan kasih. Tetapi hal ini sudah terkandung di dalam Pemahaman Iman. Maka Pemahaman Iman merupakan "Kristologi". Tata Dasar dimulai dengan perkenalan diri GPIB, disusul dengan visi, misi, dan motto yang bisa dirangkum dalam satu istilah, yaitu "Misi". Untuk dapat menyusun Tata Dasar dengan baik, kita memerlukan pendalaman terhadap tuntutan-tuntutan konteks, dan bagaimana menjawab tuntutan-tuntutan konteks tsb.
Konteks Indonesia masa kini
Konteks Indonesia masa kini ditandai oleh minimal 5 isyu yang mencolok, yaitu a. Pluralisme budaya dan agama, b. Kemiskinan yang parah, c. Penderitaan dan bencana, d. Ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender dan e. Kerusakan ekologi. Kita melihat secara singkat kelima isyu ini.
Pluralisme budaya dan agama
Sebenarnya isyu pertama ini tidak asing bagi kita. Dengan menerima prinsip "Bhinneka Tunggal Ika", sebenarnya kepelbagaian budaya telah menjadi sesuatu yang biasa di Indonesia. Namun karena dominasi dari paham nasionalitas atau kebangsaan, orang berbicara mengenai "kebudayaan Indonesia" sebagai sesuatu yang seragam dan monolitis, padahal sudah agak jelas bahwa "menjadi Indonesia" merupakan cita-cita yang sedang kita usahakan bersama-sama. Dalam kenyataan yang ada ialah budaya-budaya lokal Jawa, Sunda, Bugis, Makassar, Maluku, Minahasa dsb. Di masa Orde Baru berwacana kebangsaan, yang mendominasi waktu itu adalah kebudayaan Jawa sebagai model untuk kebudayaan Indonesia. Semua TV swasta menayangkan ketoprak dan wayang, dan tokoh Semar menjadi ikon bagi semua. Sekarang kita belajar bahwa terburu-buru menawarkan sebuah budaya nasional sebagai sebuah barang jadi, dapat menjadi selubung untuk dominasi sebuah budaya lokal tertentu. Maka sikap GPIB terhadap budaya sebaiknya fleksibel saja. Kita menyambut kepelbagaian budaya yang dibawa oleh sekian banyak kelompok etnis di gereja kita, dan kita tidak memutlakkan salah satunya. Kita berpartisipasi di dalam cita-cita "menjadi Indonesia", tetapi kita tidak menolak kalau demi Injil, sebuah bahasa budaya tertentu dipergunakan dalam ibadah (contoh: penggunaan bahasa Mandarin di GPIB Sion Tugu, Jakarta).
Sejak dari zaman Orde Baru kita sudah terbiasa menerima bahwa di Indonesia tidak ada satu agama saja, melainkan 4 agama yang diakui secara resmi, yaitu agama Islam, agama Kristen, agama Katolik, agama Hindu dan agama Buddha. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa di luar negeri, Kristen dan Katolik dianggap satu agama saja. Kemudian di zaman pasca Orde Baru kita melihat bahwa agama Konghucu ditambahkan sebagai agama resmi. Bahkan ada perdebatan mengapa pula di Indonesia dibedakan di antara agama "resmi" dan agama "tidak resmi"? Ditambah dengan kenyataan bahwa banyak sekali orang yang menjadi anggota agama resmi, namun kegiatan dan penghayatan keagamaannya mengikuti warisan kepercayaan nenek moyang, yang dulu sering disebut "agama-agama primitif". Di Jawa ada kepercayaan Kebatinan yang sering disebut "agama Jawa", di Sumba ada kepercayaan Marapu dan di Kalimantan Tengah ada kepercayaan Kaharingan. Meskipun kita menerima pembagian resmi di atas, tidak berarti bahwa dalam ranah penghayatan iman Kristen, kita mengapresiasi kepelbagaian agama dan kepercayaan ini. Dulu di zaman misionaris, semua agama lain tidak berharga, orang yang bukan Kristen harus dikristenkan. Sekarang kita tidak sekasar itu lagi, tetapi seringkali peremehan kita terhadap agama lain nampak di dalam ketidaksediaan kita untuk berbicara mengenai tetangga yang beragama lain, dengan merujuk kepadanya sebagai "sesama warganegara Indonesia". Wacana kebangsaan dipakai untuk menutupi kenyataan kepelbagaian agama. Saya sudah membicarakan hal ini panjang lebar, ketika menyinggung kebiasaan gereja-gereja di Indonesia, yang kesemuanya adalah gereja etnis, namun wacananya selalu hanya bersifat kebangsaan saja (Singgih, 2004, 124-157). Kita menuai hasilnya di tahun 1999-2002 di bagian timur Indonesia, yaitu konflik berdarah di Maluku, Halmahera dan Poso. Kalau mau sungguh-sungguh menghargai kepelbagaian ini, maka sikap kita perlu diubah, yaitu menerima keberadaan tetangga kita yang beragama lain daripada kita, meskipun merupakan sesama bangsa Indonesia. Itu berarti hidup dalam dialog, yaitu usaha memahami apa yang bermakna bagi yang lain, tetapi sekaligus usaha menghimbau yang lain agar memahami apa yang bermakna bagi kita.
Kemiskinan yang parah
Media massa sejak zaman Orde Baru mengakui bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah 27.000.000 jiwa, belum termasuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Sesudah diterpa krisis perekonomian yang menyebabkan Indonesia terpuruk dan masih terasa dampaknya sampai sekarang ini, jumlah orang miskin pasti bertambah. Ada yang mengatakan sudah sampai 37.000.000 jiwa, tidak termasuk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kalau semuanya dihitung sebagai kebulatan, barangkali jumlah 50.000.000 jiwa tidak merupakan angka yang mustahil, berarti ¼ dari jumlah penduduk Indonesia adalah miskin, dan menderita karena kemiskinan tsb. Tentunya kita tidak dapat mengatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia tidak berbuat apa-apa menghadapi situasi ini. Sejak sidang raya di Surabaya pada akhir tahun 80-an, gereja-gereja menyambut program pemerintah Orde Baru untuk ‘mengentaskan kemiskinan’. Namun dalam waktu singkat wacana di gereja-gereja berubah menjadi ‘mengentaskan kemiskinan di kantong-kantong Kristen (saja)’, dan itupun tidak ketahuan hasilnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa kemiskinan warga gereja di Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua berkurang secara signifikan. Juga kemiskinan sering ditutupi dengan pembangunan gedung-gedung peribadatan dan kantor-kantor yang megah, seakan-akan orang Kristen di Indonesia lebih kaya daripada mereka yang beragama lain.
Dalam masa krisis yang multi-dimensional pada tahun-tahun 2000an yl, banyak gereja dan lembaga Kristiani di Yogyakarta mengadakan program "makan siang dari Tuhan" . Jemaat-jemaat mengalokasikan dana untuk keperluan membeli nasi bungkus bagi keperluan makan siang dari para gelandangan, tukang becak dan pekerja-pekerja bangunan misalnya. Namun program makan sekali sehari ini lama kelamaan menjadi sekali seminggu, dan akhirnya berhenti tanpa pengumuman. Padahal krisis belum berakhir malah menjadi semakin berat. Mengapa berhenti? Sekadar sebagai perbandingan saja: USA di tahun 20an pernah mengalami krisis semacam ini. Banyak sekali orang yang jatuh miskin dan bunuh diri. Gereja-gereja menanggapi situasi ini dengan mendirikan dapur umum dan shelter (tempat di mana orang miskin dapat mandi dan menginap semalam dalam keadaan hangat di musim dingin) di kompleks gereja. Sampai sekarang dapur umum dan shelter masih jalan terus dan menjadi bagian permanen dari pelayanan gereja kepada masyarakat. Menurut saya macetnya program di atas di Indonesia disebabkan karena jemaat tidak mengaggap bahwa pelayanan semacam ini merupakan bagian integral dari panggilan gereja. Ada sih diakonia di gereja, tetapi sifatnya insidental, berskala kecil dan hanya ditujukan ke dalam saja. Namun konteks kemiskinan mengharuskan kita untuk tidak lagi menganaktirikan diakonia dibandingkan dengan unsur-unsur tridarma gereja yang lain seperti koinonia (persekutuan) dan marturia (kesaksian).
Penderitaan dan Bencana
Konteks penderitaan dekat dengan konteks kemiskinan. Orang miskin biasanya menderita oleh karena kemiskinannya. Namun bukan hanya orang miskin saja yang menderita melainkan banyak orang lain juga, yang tidak miskin. Dalam dunia modern ini kita melihat penyakit-penyakit lama dan baru yang mengerikan, yang mengakibatkan orang menderita misalnya kanker, HIV-AIDS, ketergantungan pada narkoba. Korban narkoba biasanya sekaligus merupakan korban HIV-AIDS. Keluarga-keluarga mereka sangat menderita juga, bukan saja karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, melainkan juga dibebani dengan rasa malu yang bukan kepalang menghadapi apa yang terjadi. Akibatnya keluarga memutuskan hubungan dengan si penderita. Penderitaan itu kemudian menjadi penderitaan yang tidak kelihatan oleh karena disembunyikan dari mata umum. Tidak ada gunanya kita mencela sikap ini sebagai sikap yang tidak berperi kemanusiaan. Celaan ini akan semakin mempertebal tembok yang sudah dibangun sebelumnya. Sikap yang benar terhadap konteks penderitaan semacam ini adalah sungguh-sungguh membangun kemampuan pendampingan pastoral dan empati bagi seluruh jajaran pelayanan jemaat (jadi bukan hanya bagi para pendeta saja). Masalahnya tanggapan masyarakat kita (apalagi dari kalangan agamawan) biasanya bukan empati melainkan antipati. Kepada siapa para penderita dapat berharap?
Kita juga menemukan orang yang menderita karena mengalami kekerasan. Hampir setia[p hari kita menyaksikan kekerasan terjadi di berbagai bidang, termasuk rumah tangga. Kita membaca mengenai anak-anak jalanan yang setiap kali kena penggarukan, dan mengalami berbagai perlakuan kejam dari para petugas. Orang-orang yang ditahan polisi dan belum diadili, tetapi sudah babak belur dihajar sampai setengah mati, dan tidak jarang ada yang mati dalam tahanan. Orang-orang yang dituduh atau tertangkap basah mencuri, menjadi sasaran amuk massa, yang tidak segan-segan menyiksa dan membunuh dengan cara kejam. Konflik-konflik antar kelompok, antar desa, antar golongan bahkan antar etnis terjadi karena sumber-sumber kehidupan semakin menjadi langka, dan dalam rangka itu HAM diabaikan saja oleh karena kepentingan kelompok dianggap paling penting. Sebagai gereja anggota PGI kita menerima konsep dasawarsa non-kekerasan dari Dewan Gereja Sedunia, tetapi kita tidak punya idea sama sekali bagaimana hidup berdampingan satu sama lain tanpa kekerasan dapat diwujudkan di tengah-tengah kehidupan bangsa kita. Menghadapi kekerasan, kita semua habis akal.
Meskipun sebelumnya sudah terjadi berbagai bencana alam di Indonesia, tsunami Aceh dan gempa bumi Nias dapat dianggap sebagai mulainya masa bencana alam di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian besar bagi negara dan bangsa, dan sebagai akibatnya , jumlah orang yang menderita dan menjadi miskin semakin bertambah pula. Setelah gempa bumi di Yogyakarta 2006 kita menemukan ratusan orang yang harus hidup sebagai penyandang cacat atau lumpuh total dan hanya tergeletak di tempat tidur. Meskipun mendapat bantuan dari pelbagai pihak untuk pembangunan kembali rumah-rumah yang telah roboh atau hancur, suasana tidak kembali seperti semula. Ada cukup banyak orang dan keluarga, yang setelah mengalami gempa bumi, kembali menjadi korban angin puting beliung. Beberapa gereja memberi tanggapan yang memadai terhadap bencana ini, misalnya GKI yang menolong korban gempa bumi di Aceh dan Nias, dan gereja-gereja Mennonite yang membantu korban gempa di daerah Pundung, Bantul yang rata dengan tanah. Karya mereka demikian mengesankan, sehingga lasykar Hisbullah (anak buah Kyai Abu Bakar Baasyir) tidak segan-segan untuk ikut berpartisipasi di dalam karya ini, mula-mula dengan 33 orang tetapi kemudian menyusul dengan 100 sukarelawan. Tetapi kalau dilihat secara keseluruhan, tanggapan gereja-gereja di Indonesia terhadap bencana alam yang terjadi di Indonesia belum memadai. Mungkin kita masih terbius dengan teologi tertentu, yang menganggap bencana alam sebagai wujud hukuman Tuhan terhadap orang berdosa.
Ketidakadilan termasuk ketidakadilan gender
Konteks inipun masih dapat dikaitkan dengan kedua konteks sebelumnya, namun secara khusus di sini saya berbicara mengenai mereka yang tidak miskin, namun mengalami diskriminasi dalam masyarakat, baik yang secara terang-terangan maupun secara diam-diam (ataupun diimajinasikan). Pada zaman Orde Baru orang selalu membantah bahwa ada perlakuan diskriminatif terhadap saudara/i keturunan Tionghoa. Tetapi pada era Reformasi muncul pengakuan bahwa sikap diskriminatif ini negatif dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan terutama mantan presiden Abdurrahman Wahid patut dihargai sebagai mengakhiri diskriminasi tsb. Namun tetap saja kita mendengar laporan bahwa orang-orang keturunan Tionghoa mendapat kesulitan kalau mau masuk ke perguruan tinggi, oleh karena harus menyediakan surat-surat yang menandakan bahwa mereka adalah "WNI", padahal yang lain tidak perlu memenuhi persyaratan tsb. Sama halnya kalau mereka memerlukan paspor. Birokrasi Indonesia masih diskriminatif! Kemudian kita melihat gejala diskriminasi ini juga terhadap kalangan Kristiani, yang harus mengurus surat izin 2 menteri apabila ingin mendirikan rumah ibadah, dan terutama izin dari masyarakat sekitar, itulah yang menjadi halangan terbesar, karena hampir pasti tidak akan diberikan. Perjuangan kita terhadap kedua diskriminasi ini tentunya harus dilakukan, terutama di bidang politik, tetapi berbeda dengan beberapa teman yang menganggap bahwa diskriminasi kedua inilah pokok yang paling penting karena melanggar hak dan kebebasan beragama yang sudah dijamin oleh piagam HAM, saya menekankan bahwa gereja-gereja seharusnya tidak hanya memperjuangkan satu pokok HAM saja, tetapi semua pokok di dalam piagam HAM tsb. Dengan demikian baru jelas bahwa kita tidak hanya memperjuangkan kepentingan diri kita sendiri saja, tetapi juga kepentingan bersama yang nampak pada penderitaan orang lain.
Peranan perempuan cukup jelas baik dialam kehidupan bergereja maupun bermasyarakat. Dalam era Reformasi kita melihat bagaimana masalah pembagian kerja secara seksual, ketidakadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan menjadi sorotan utama. Jadi bukan sekadar peranan perempuan lagi yang dipermasalahkan, sebab sekarangpun peranan presiden sudah bisa dijalankan oleh perempuan (Ibu Megawati). Kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga, semua media massa menyorotinya beramai-ramai. Pemukulan terhadap istri dan/atau anak, demikian juga PRT atau TKW sudah tidak bisa diterima oleh masyarakat, dan siapa yang melakukan kekerasan tsb akan berhadapan dengan pengadilan. Meskipun demikian tidak berarti permasalahan perempuan sudah selesai. Hal ini disebabkan oleh karena seringkali perempuan yang telah berada dalam peranan yang menentukan ini, dalam kenyataan lebih banyak mengurusi kepentingan laki-laki daripada kepentingan perempuan. Kita juga dikagetkan oleh laporan internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang pemerintahnya paling lalai dalam mengatasi masalah perdagangan perempuan dan anak-anak, padahal hal inilah yang menjadi bisnis gelap dan punya mata rantai di mana-mana. Apakah GPIB siap untuk memberi kesempatan kepada perempuan untuk dapat mengabdi sepenuhnya di gereja dan di masyarakat, apalagi kalau jumlah pendeta dan calon pendeta dari pihak perempuan sudah lebih banyak dari laki-laki?
Kerusakan ekologis
Isyu ini sangat mencuat, terutama dalam tayangan-tayangan TV mengenai kerusakan hebat dari hutan-hutan Indonesia akibat penebangan-penebangan illegal, yang sepertinya berjalan terus tanpa dapat dihentikan, juga oleh pemerintah. Akibat penggundulan hutan, iklim berubah, dan karena iklim berubah, pertanian mengalami kemunduran. Kita mengalami kemarau yang berkepanjangan, musim hujan yang dahsyat sehingga menyebabkan banjir bandang akibat pohon-pohon yang menahan air sudah tidak ada, dan kita mengalami efek rumah kaca: tempat-tempat yang dulunya sejuk seperti Salatiga menjadi panas. Kerusakan ekologis ini juga mengakibatkan bencana-bencana seperti tanah longsor dan gelombang besar, yang pada gilirannya menimbulkan pasang air laut, yang bahkan bisa terjadi di ibukota Jakarta (Muara Karang). Kita menuai kesalahan besar yang telah dibuat oleh penggagas-penggagas industrialisasi di masa lalu, yang memperkembangkan teknologi tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Meskipun semua fabrik mempersiapkan laporan AMDAL, kesan masyarakat adalah bahwa laporan tsb dilakukan sebagai formalitas saja. Di Yogyakarta berdirilah mal-mal raksasa. Dampaknya ialah pengurangan air bagi warga sekitar, karena semua tersedot untuk keperluan mal-mal tsb. Tetapi apa yang dapat dilakukan? Pembangunan mal-mal tsb mendapat dukungan dari semua pihak. Tidak ada yang mempedulikan keluhan warga-warga sekitar, yang sekarang harus membeli air, padahal tadinya tidak perlu. Apakah GPIB siap untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat dan wajar bagi semua? Di dalam Pemahaman Iman GPIB isyu ini sudah dimasukkan, tetapi sejauh ini belum ada diskusi yang memadai mengenai masalah-masalah kerusakan ekologis di sekitar kita.
Demikianlah secara singkat uraian mengenai kelima konteks di mana kita berada. Tanggapan terhadap Pembicaraan mengenai teologi publik GPIB mau tidak mau haruslah menyentuh kelima isyu ini secara memadai.
Refleksi mengenai identitas kita
Sesudah menguraikan konteks, langkah berikut adalah membayangkan usaha berteologi yang memadai dalam rangka menanggapi konteks tsb. Namun sebelum itu kita perlu berefleksi kembali mengenai identitas kita sebagai GPIB dan keberadaan kita sebagai bagian dari Indonesia. Masalah identitas memang merupakan sesuatu yang ramai dibicarakan. Tentu kita tidak dapat membahasnya sampai tuntas, namun baiklah di sini saya membatasi bahwa di satu pihak kita membutuhkan identitas. Maka secara pribadi maupun organisatoris, kita perlu membangun kepribadian yang kuat. Namun pada saat yang sama, identitas itu bukanlah sesuatu yang statis dan selesai, kuat bagaimanapun dia itu. Identitas yang sehat adalah identitas yang sehat namun terbuka. Berdasarkan keterbukaan inilah kita dapat melihat kembali pada a/GPIB itu apa? Dan b/Indonesia itu apa? Mau tidak mau refleksi ini bersifat auto-kritik, oleh karena yang mau dicapai adalah perubahan sikap secara menyeluruh.
a/GPIB itu apa?
Secara normatif dapat dilihat di Tata Gereja. Tetapi secara sosiologis GPIB adalah gereja diaspora beberapa kelompok etnis dari sebelah timur Indonesia (Maluku, Minahasa dan Timor, kemudian bertambah dengan kelompok etnis lain). Dengan keberadaannya yang terdiri dari tiga kelompok etnis yang besar, kemudian beberapa kelompok etnis lain, maka GPIB bukan sebuah "gereja etnis" yang warganya hanya terdiri dari satu kelompok etnis saja. Saya menggunakan istilah "gereja diaspora-etnis" untuk GPIB, untuk membedakannya dari gereja-gereja etnis seperti HKBP dan GKJ. Tentu saja, idealnya, kepelbagaian etnis di GPIB ini dapat kita jadikan landasan untuk berpartisipasi di dalam cita-cita "menjadi Indonesia" di dalam wujud "gereja Indonesia". Namun perasaan saya, etnisitas masih mendominasi pemikiran di GPIB. Kemudian ada warisan-warisan GPIB dari masa lalu, yaitu konsep pemikiran mengenai gereja-negara (Indische Kerk), warisan Calvinisme dan Pietisme. Di negara-negara Barat, gereja-negara biasanya sekaligus dianggap "gereja nasional" seperti misalnya Church of Scotland. Meskipun sudah lama GPIB tidak lagi merupakan gereja-negara, sisa-sisa dari masa lalu ini masih nampak dalam kecenderungan untuk menganggap GPIB adalah "gereja nasional" (padahal bukan) dan dekat dengan pemerintah atau para pejabat negara. Juga pengaruh ini nampak pada tekanan mengenai para presbiter GPIB sebagai "pejabat". Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh Calvinisme, yang menekankan pada mereka yang dipanggil menjadi dignitaris. Artinya "pejabat".
Di dalam konteks Indonesia, istilah "pejabat" itu dimaknai sebagai pejabat dalam pengertian atasan atau penguasa, jadi amat bertolakbelakang dari makna hamba atau pelayan Tuhan. Kepejabatan berhubungan langsung dengan birokrasi. Maka sebuah masalah besar di GPIB adalah birokratisisme, yang kadang-kadang lebih kaku daripada yang seharusnya.Warisan Pietisme adalah sikap yang a-politis, dalam arti tidak mau berurusan dengan masalah-masalah atau isyu-isyu penting yang sedang berlaku didalam konteks. Warisan Pietisme ini kadang-kadang dapat berfungsi sebagai alternatif terhadap birokratisisme, namun secara keseluruhan kesemua warisan ini hanya membuat GPIB mengarah ke dalam, introvert dan mengurusi urusan-urusan ritual-domestik saja, misinya cuma bagaimana menambah jumlah anggota, dan tidak ada keterarahan institusional terhadap dunia yang harus dilayaninya. Disini saya memperlihatkan bahwa warisan-warisan teologis yang kita terima dari pendahulu-pendahulu kita tidak membantu kita dalam usaha membangun sebuah teologi publik, tetapi jangan putus asa dulu oleh karena itu baru sebagian dari warisan-warisan kita, sebagian yang lain dapat dipergunakan secara kreatif dan positif, dan hal itu akan saya sebutkan di bagian muatan teologi publik.
b/Indonesia itu apa?
Secara normatif dapat dilihat dalam pelbagai terbitan formal, namun dalam wacana publik, keindonesiaan dibicarakan dalam kerangka civil society. Istilah "civil society" tidak dapat diartikan sebagai "masyarakat sipil" sebagai antitesa dari "masyarakat militer", meskipun jelas bahwa di dalam civil society kita menentang pengaruh militerisme (yang tidak identik dengan "militer" dan karena itu membangun civil sociery tidak berarti anti pada kalangan militer). Civil society berhubungan dengan istilah "civilized" dan "civilization", suatu masyarakat beradab yang didasarkan atas keadilan, kebebasan dan toleransi. Dalam diskusi mengenai civil society di Indonesia, apalagi kalau dikaitkan dengan istilah "masyarakat madani", maka dasarnya bukan keadilan, kebebasan dan toleransi, melainkan hukum. Bukannya hukum tidak penting. Masyarakat kita sakit karena hukum dilecehkan. Segala cara dapat dilakukan untuk memelintir hukum sehingga memenuhi kepentingan sendiri. Namun civil society yang berdasarkan hukum saja tidak cukup. Sebuah negara hukumpun bisa melanggar HAM dan bersifat diskriminatif. Maka civil society tetap harus berdasarkan ketiga hal di atas.
Ranah publik dipengaruhi oleh 3 poros kekuasaan: negara, pasar dan komunitas. Negara berkaitan dengan politik, pasar berkaitan dengan ekonomi dan komunitas berkaitan dengan agama/budaya. Ketiga-tiganya seharusnya berada dalam keadaan yang sama kuat alias berimbang bagaikan segitiga samasisi. Ketiganya di satu pihak berdiri sendiri tetapi tidak independent, melainkan interdependent. Yang satu tidak bisa tanpa yang lain, tetapi bukan berarti satu tunduk kepada yang lain. Di masa Orde Baru yang paling kuat adalah sisi Negara/Pemerintah, sedemikian rupa sehingga kedua sisi yang lain berada di bawah dominasinya. Dengan sendirinya banyak persoalan yang berat muncul dan sampai sekarang terasa akibatnya: ekonomi yang carut marut, komunitas yang kehilangan sensibilitas sosialnya dan mudah mengambil langkah-langkah kekerasan (trial by the crowd). Maka yang dapat dilakukan di dalam pembangunan masyarakat beradab adalah mengembalikan keseimbangan pada ketiga sisi, sehingga dengan demikian kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan wajar. Kalau pada masa Orde Baru terjadi dominasi Negara/pemerintah, maka pada masa kini, kita jangan mengembalikan lagi dominasi tsb, seperti kadang-kadang kita dengar di media massa. Bahkan negara sendiri sudah terbagi atas tiga kekuasaan: eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan ketiga-tiganya sedang belajar untuk tidak memaksakan kehendak terhadap satu dengan yang lain.
Pasar (Ekonomi, Globalisasi)
Ranah
Publik
Negara (Politik, Demokrasi/desentralisasi)
Komunitas
(Agama/Budaya, Kontekstualisasi)
Kalau kita menghubungkan segitiga samasisi ini dengan kehidupan gereja-gereja di Indonesia, maka secara kasar kita dapat mengatakan bahwa GKI secara tradisional berada di sisi Pasar, GKJ dan HKBP secara tradisional berada di sisi Komunitas dan GPIB secara tradisional berada di sisi Negara (karena warisan staatskerk-nya itu). Panggilan gereja cukup sulit oleh karena di satu pihak dia mestinya bersolider dengan sisinya itu, di pihak lain, sebagai gereja Tuhan, dia tidak boleh mengidentifikasikan diri secara total pada salah satu dari ketiga sisi tsb! Maka pergumulan GKI, GKJ, HKBP dan GPIB adalah pergumulan ganda: solider dengan sisinya, namun berani menjaga distansi dengan sisinya itu, dengan jalan menjalankan tugas kenabian: kritik yang bersifat membangun terhadap kekurangan-kekurangan setiap sisi. Jadi GPIB seharusnya merupakan bagian dari civil society yang sedang dibangun (dengan susah payah!), yang memperjuangkan agar keseimbangan poros-poros kekuasaan di atas terpelihara dengan baik. Itulah secara horisontal teologi publik GPIB.
Muatan teologi publik
Akhirnya kita dapat berbicara mengenai teologi publik. Ungkapan teologi publik berasal dari dunia Barat dan menunjuk pada tanggapan gereja terhadap isyu-isyu politis yang mencuat di masyarakat. Tentu saja banyak orang di luar sana yang telah membicarakan teologi publik. Saya mengacu pada Duncan Forrester dari Edinburgh, Scotland yang teorinya sudah dimodifikasi untuk keperluan Indonesia oleh kolega saya Yahya Wijaya (Wijaya, 2005). Forrester memperlihatkan 5 sikap terhadap politik, yaitu teologi pietistik, komunitarianisme, chaplaincy, pembebasan dan teologi publik. Menurut Yahya di Indonesia hanya ada 3 sikap yang menonjol, yaitu sikap teologi pietistik, teologi chaplaincy dan teologi pembebasan.
Pietisme kurang peduli pada teologi politik oleh karena menekankan pada keselamatan jiwa dan kesucian hidup pribadi. Sikapnya adalah a-politis. Karena itu maka para pekabar injil di zaman kolonial dapat berhubungan baik dengan penguasa-penguasa kolonial, sehingga memungkinkan pengiriman para misionaris, yang menabur benih berdirinya gereja-gereja di Indonesia. Karena latar belakang yang seperti ini maka tidak mengherankan apabila warna pietisme amat menonjol. Banyak teolog Indonesia, yang karena berusaha membangun pendekatan-pendekatan teologis yang berwawasan sosial, dicap sebagai "liberal" oleh sebagian warga jemaat. Sikap a-politis dari kalangan pietis (sekarang ditambah dengan kalangan kharismatis) berubah pada masa kini, tetapi cenderung terfokus pada hak-hak politik komunitas Kristen, seperti hak untuk membangun gedung gereja dan hak untuk mewartakan Injil. Kata Yahya, tentang isyu-isyu politik yang lebih luas, mereka cenderung tidak peduli atau bersikap oportunistik. Teologi chaplaincy muncul ketika agama Kristen telah menyebar luas menjadi agama mayoritas dalam masyarakat Barat. Maka pemerintahan yang ada ialah pemerintahan Kristiani, Christendom. Menurut Forrester, Christendom menandai masuknya kekeristenan ke dalam ranah public. Pada era inilah gereja mulai melakukan pendekatan chaplaincy, yaitu memandang para pemegang kekuasaan sebagai sasaran layanan pastoral. Pendekatan ini berusaha mencari bimbingan Injil bagi penguasa dan mengatur sistem politik dan ekonomi menurut kriteria yang sesuai dengan iman Kristen. Meskipun umat Kristiani di Indonesia bukan mayoritas, sikap teologis ini nampak dalam jemaat, misalnya dalam doa-doa syafaat yang berkaitan dengan doa untuk pejabat pemerintah, agar selalu berada di bawah perlindungan dan berkat ilahi. Di lain pihak, teologi pembebasan muncul sebagai kritik terhadap teologi chaplaincy yang dianggap sebagai menerima status quo yang ada, padahal status quo tsb bersifat tidak adil dan menindas.
Teologi chaplaincy dalam konteks negara-negara dunia ketiga di mana agama Kristen merupakan minoritas, sering berjalan bersama Teologi Pembangunan, yang mendukung program pembangunan pemerintah. Tetapi program pembangunan ini dikritik sebagai developmentalism yang hanya menguntungkan kelas masyarakat menengah ke atas dan pemilik modal besar, sementara hidup kaum miskin dikorbankan. Di samping itu di Indonesia, teologi chaplaincy berjalan bersama dengan semacam Teologi Kebangsaan, di mana wacana kebangsaan menjadi kendaraan bagi pemikiran-pemikiran teologis Kristen. Dalam menanggapi wacana mengenai ranah publik di atas, maka kita perlu berpindah dari teologi chaplaincy ke teologi public. Di satu pihak teologi publik lebih memungkinakan sikap kritis, tetapi di pihak lain dia tidak perlu mengambil posisi anti struktur seperti diperlihatkan oleh teologi pembebasan. Muatan teologi publik secara vertikal adalah sbb: a. Theo-logy /Spirituality (what kind of God?), b.Ecclesiology (what kind of church-community?), c.Missiology (what kind of action?)
a. Theo-logy /Spirituality
Saya menaruh tanda sambung di antara "theo" dan "logy", untuk menunjukkan bahwa teologi di sini bukan merujuk pada pembicaraan umum mengenai teologi, tetapi pemahaman kita terhadap siapakah Tuhan dan Tuhan yang bagaimanakah yang menurut kita dapat menjawab tantangan-tantangan konteks Indonesia masa kini. Bukan Tuhan yang kita utik-utik, melainkan gambaran atau idea mengenai Tuhan yang relevan dan kontekstual. Dalam rangka memeriksa gambaran Tuhan ini kita tidak perlu meninggalkan warisan-warisan teologis yang telah kita terima dari pendahulu-pendahulu kita. Isi kelima isyu dalam konteks tadi membutuhkan Tuhan yang peduli di dalam kasihNya yang besar terhadap dunia ini. Maka teks Yohanes 3:16 menurut saya masih amat relevan. Oleh karena kasihNya yang habis-habisan terhadap dunia yang diciptakanNya, Allah mengutus Yesus Kristus ke dunia untuk melaksanakan karya penyelamatan. Karya penyelamatan ini tidak usah dimaknai secara abstrak atau sepotong-sepotong, melainkan menyeluruh, supaya manusia mengalami "hidup yang berkelimpahan" (Yoh 10:10). Dalam diskusi kita ada saran bahwa kita jangan terlalu mencolok menggambarkan Tuhan dalam wujud Trinitas atau Ketritunggalan, berhubung kita berada dalam konteks di mana Islam adalah mayoritas, dan seperti diketahui secara normatif Islam menolak paham Ketritunggalan ilahi. Namun menurut saya dialog dengan Islam tidak menuntut agar kita mengurangi pokok kepercayaan kita. Dialog berarti saya berusaha memahami yang lain, dan himbauan agar yang lain memahami saya. Bagaimana yang lain bisa memahami saya kalau apa yang menjadi pokok kepercayaan saya dihilangkan atau disembunyikan? Tentu saja kita perlu menghayati Ketritunggalan secara kontekstual, dan itu berarti menafsirkannya secara non-triumfalistik sebagai wujud solidaritas ilahi kepada manusia, seperti yang telah saya cobakan di atas.
b.Ecclesiology
Eklesiologi yang kita butuhkan di dalam menjawab kelima tuntutan konteks adalah eklesiologi yang di satu pihak tetap memperlihatkan identitas kita sebagai umat yang telah dipanggil Tuhan untuk melayani dunia ini, tetapi sekaligus juga sebuah identitas yang terbuka. Yang saya bayangkan adalah perumpamaan tentang perjamuan besar yang diadakan oleh Sang Tuan, yang ingin agar perjamuanNya dihadiri oleh segala macam golongan orang seperti yang diceritakan oleh Yesus di kisah-kisah Injil. Perjamuan makan di manapun juga merupakan simbol adanya status-quo di dalam masyarakat. Kita tidak mengundang sembarang orang untuk makan bersama kita. Tetapi Yesus justru memikirkan hal yang sebaliknya, dalam perjamuan makan yang Ia adakan, segala macam orang justru diundang, juga yang biasanya lewat dari perhatian kita. Di dalam persekutuan yang inklusif ini, perhatian pada kekudusan ("politics of holiness") berjalan bersama-sama dengan bela rasa ("politics of compassion"). Kekudusan seharusnya tidak membuat persekutuan Kristen memencilkan diri dari dunia, tetapi justru memberanikannya masuk ke dalam dunia untuk mengubahnya sehingga menjadi layak untuk kerajaan Allah.
Ketika John Wesley dan kawan-kawannya memperjuangkan kekudusan di wilayah Inggris, hal itu menyebabkan perubahan bukan saja di dalam batin orang, tetapi juga transformasi masyarakat berkat dihapuskannya undang-undang yang diskriminatif dan tidak manusiawi, dan digantikan dengan undang-undang yang lebih sesuai dengan persyaratan kehidupan masyarakat. Tekanan Calvinisme pada kedaulatan Allah (God’s sovereignty) di atas semua, justru membuat kita dapat memahami secara proporsional urutan kepentingan pokok-pokok yang biasanya dirujuk dalam masyarakat. Negara/Pemerintah, Pasar, Komunitas, bahkan Gereja dan Persekutuan semuanya penting, tetapi jika diperhadapkan pada kedaulatan Allah, maka semuanya menjadi nomor dua. Tetapi justru karena itu kita dapat menghargai semua pokok-pokok di atas pada tempatnya.
c.Missiology
Eklesiologi yang terbuka menghasilkan misi yang terbuka pula. Cita-cita misi adalah agar apa yang terkandung dalam simbol perjamuan besar di atas, dapat diperjuangkan secara konkret di dunia ini. Kita tetap berjuang untuk menyelamatkan manusia, tetapi manusia ini bukan kita tumpukkan di dalam gereja, melainkan kita pandang sebagai warga kerajaan Allah, yang lebih luas daripada gereja. Keterbukaan ini menuntut kita agar sikap gereja pejabat dan birokratisme yang sudah disinggung di atas, disingkirkan dari kehidupan bergereja kita. Misi tidak dapat berjalan kalau dihalangi oleh birokratisme. Itu tidak berarti kita menjadi anti birokrat. Organisasi tidak jalan kalau tidak ada birokrasi, misi juga tidak bisa jalan kalau tidak ada birokrasi. Namun di pihak lain misi tidak jalan kalau tidak ada presbiter yang bersemangat pelayanan, dan yang tidak melihat kedudukannya sebagai pejabat yang harus dilayani daripada melayani.
Eklesiologi yang merupakan unsur dari teologi publik ini mengharuskan kita bermisi dengan menghadapkan wajah kita kepada publik. Itu berarti sarana-sarana berjemaat kita misalnya gedung-gedung peribadatan seharusnya menjadi pusat kehidupan masyarakat (community centers). Memang hal tsb tidak mudah dilakukan oleh karena kebanyakan arsitektur gedung-gedung gereja kita justru mengarahkan jemaat ke dalam, ke dirinya sendiri. Tuhan ada di dalam gedung gereja, bukan di luar gedung gereja. Teologi publik melihat Tuhan sebagai berada baik di dalam gereja maupun di luar, di dunia ini. Maka kita beribadah supaya dengan demikian mendapat kekuatan berjuang bersama Tuhan di luar gereja. Saya sudah pernah mengusulkan agar gedung dan kompleks gereja dibangun dengan memperhatikan bayangan tentang community centers ini. Kongkretnya bagaimana membangun gereja yang mempunyai dapur umum, mempunyai shelter dan mempunyai ruangan di mana siapa saja dapat datang dan berkomunikasi atau bersantai, sebelum meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Sebenarnya GPIB sudah mempunyai modal besar yaitu konsep jemaat-jemaat Pelkes, namun kesan saya sekarang konsep ini sudah menjadi statis dan bahkan menjadi beban bagi GPIB. Saya mengusulkan agar konsep Pelkes ini didinamisir lagi, menjadi pelayanan yang tidak ditujukan tidak semata-mata untuk kepentingan jemaat (paroki) lagi, melainkan juga, dan terutama, untuk kepentingan masyarakat, terutama mereka yang berada di pinggiran. Dari pengalaman ambil bagian dalam transformasi masyarakat, gereja dapat memberikan suara atau pandangannya dalam situasi tertentu (tanpa menganggapnya sebagai fatwa), dalam rangka membangun publik opinion.
Penutup
Sebagai penutup perkenankanlah saya sharing mengenai pengalaman di Yogya: di satu pihak ada kesan baik terhadap pelayanan orang Kristiani terhadap korban-korban gempa (contoh Diakonia GKMI di Pundung, yang diikuti oleh gerakan Hisbullah). Tetapi di pihak lain ada juga kesan tidak baik terhadap orang Kristiani yang dicurigai mempunyai agenda terselubung dalam reaksi keras terhadap "Yogya Festival" (kebaktian kebangunan rohani dan kesembuhan ilahi oleh teman-teman kharismatik dengan menggunakan gedung olahraga Kridosono, tetapi di dalam selebarannya tidak disebutkan bahwa acara ini merupakan kebaktian). Kalau memberi kesan Kristenisasi, masyarakat menolak. Kalau kesaksian hidup yang nampak dalam kerja atau pelayanan sosial, masyarakat menerima. .
Akhirnya, dari entusiasme masyarakat Indonesia terhadap PSSI saya mendapat kesan bahwa orang kembali suka kepada konsep "Indonesia". Tetapi karena ada prestasi, yaitu menang terhadap Bahrein, dan bermain bagus dalam melawan Arab Saudi meskipun kalah, dan akhirnya kalah dari Korea Selatan. Jadi kalau mau orang senang lagi pada Indonesia, harus ada prestasi di segala bidang, bukannya wanprestasi di segala bidang. Teologi publik sederhananya adalah kemampuan untuk menginspirasi masyarakat untuk keluar atau bangun dari keterpurukannya.
---------------------------
Wisma "Labuang Baji",
Yogyakarta, 15 Juli 2007.
Catatan-catatan:
Singgih, Emanuel Gerrit, "Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21", dalam Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, pp. 124-157.
Wijaya, Yahya, " Perkembangan Teologi Politik di Indonesia: tanggapan atas Wahyu Satrio Wibowo", makalah seminar intern II dosen-dosen FTh UKDW, 23 September 2005.

__________________________________________

disampaikan melalui milis GPIB :


Gerrit Singgih wrote:

Yth. pengurus milis GPIB,

Bersama ini saya mengirimkan tulisan yang berjudul "Membangun
teologi publik GPIB dalam rangka menjawab tantangan konteks Indonesia
masa kini" untuk dimuat dalam milis GPIB. Bahan ini saya berikan dalam
pertemuan sinodal GPIB mengenai Tatagereja GPIB di Yogyakarta 16-17 Juli
2007 dalam garis besarnya dan secara lisan, tetapi sekarang sudah saya
jadikan makalah lengkap dengan mempertimbangkan masukan-masukan pada
pertemuan tsb. Semoga berguna bagi wacana mengenai Tatagereja GPIB.
Teriiring salam dan doa,

Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.