Senin, 07 April 2008

PILAR - PILAR GPIB

Catatan Pendahuluan.
Istilah ’Pilar-Pilar’ disini digunakan dalam pembahasan berikut ini merujuk pada ’tiang penyangga’ sebuah bangunan. Tiang penyangga beda dari dasar atau fondasi. Kalau kita bicara tentang dasar atau fondasi, maka yang kita bicarakan adalah Yesus Kristus sendiri. Dialah ’Dasar’ sekali-gus ’Kepala’ Gereja. Ada bangunan yang didirikan diatas dasar yesus Kristus ini. Bangunan itu bernama Gereja. Dan dalam hubungan itulah kita bicara tentang Pilar Pilar di GPIB.

Rekonstruksi Bangun - Pikiran
Kalau kita bicara di GPIB tentang pilar-pilar, maka yang ada dalam pemahaman adalah tiga pilar utama. Pilar pertama bernama theologi, pilar kedua bernama missiologi dan pilar ketiga bernama ekklesiologi. Kalau dituang dalam bentuk praktis, maka Theogia adalah Pemahaman Iman (PI), Missiologia adalah Pokok Pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pelayanan Gereja(PKUPPG) dan Ekklesiologi adalah aturan atau rambu untuk melaksanakan Missi. Dalam sejarahnya, GPIB menunjukkan bahwa hal ’kemandirian di bidang theologi’ oleh GPIB bukanlah hal teori. Kemandirian theologi ini dipraktekkan, berhubungan dengan tantangan yang dihadapi oleh GPIB sendiri. Telah terjadi sebuah proses panjang, dimana argumentasi dan kritik dari berbagai disiplin memperkaya pemahaman. Kita bisa melihat beberapa hal pokok.

Hal Pertama: Pengalaman Historis GPIB.
Ketika dibentuk, GPIB tidak berpikir secara pilar-pilar. GPIB tidak memisahkan theologia dari missiologia dan ekklesiologi sebab semuanya merupakan kesatuan. Sebab tidak ada pembagian komisi atau seksi pembahasan dalam sistimatika ini. Yang terjadi adalah Dogma, Missi, maupun Ibadah dilihat sebagai kesatuan konsepsional. Hal hal yang menyangkut tindakan praktis yang merupakan keputusan kita mengerti sebagai ’program’. Jelasnya, yang ada pertama adalah ’konsep theologis’ -yang menyangkut hampir semua hal - dan ’keputusan praktis’ - yang sekarang kita kenal sebagai program. Lebih ringkas lagi, ada theologi dan ada program.
Signifikasi baru terjadi pada parohan pertama tahun 1960-an ketika konsep ’Jemaat Missioner’ dicanangkan. Tekanan theologis dari konsep ’Jemaat Missioner’ adalah melihat ’keseharian’ sebagai medan missi. Dalam prakteknya ditemukan bahwa Tata Gereja bisa jadi salah satu penghambat. Tata Gereja bicara banyak tentang organisasi, tapi tidak menjelaskan ’pola aksi’ bagi warga Jemaat sebagai pribadi. Tidak jelas kedudukan ’kesaksian kehidupan’ warga Jemaat dalam keseharian. Dalam Persidangan Persidangan Sinode GPIB mulai tahun 1970 kita mulai membaca semacam ’target pencapaian’ ke depan yang populer sebagai GBKUPG -Garis Garis Besar Kebijakan Umum Pelayanan Gereja- sekarang ini mewujud dalam PKUPPG.

Hal Kedua: Terminologi.
Mereka yang -secara teoritis- belajar teologi sebetulnya agak sulit memisahkan antara teologi, missiologi dan ekklesiologi, sekalipun tahu perbedaannya. Ini karena batas batas cakupan bidang pembahasan sangat tipis. Karena itu sebuah simplifikasi seakan akan teologi adalah konsep konsep teoritis, missiologi adalah pandangan kedepan menyangkut visi dan missi, dan ekklesiologi adalah aturan aturan yang dibutuhkan agar vissi dan missi bisa dilaksanakan, sehingga konsep teoritis menjadi kenyataan; tidak selalu realistis khususnya dalam pengalaman historis GPIB.


Hal ketiga : Penerapan Terminologi.
Menempatkan Pemahaman Iman sebagai Teologi, memaksudkan agar Pemahaman Iman menjadi semacam payung teologi Gereja. Itu artinya semua pendapat teologis harus mengacu pada Pemahaman Iman. Asal saja dipahami sejak awal bahwa Pemahaman Iman adalah Pemahaman Iman dan bukan Pengakuan Iman. Sebab Pengakuan adalah salah satu acuan dasar untuk membuat Pemahaman Iman. Acuan lain adalah -tentu saja- Alkitab, Sejarah Gereja dan tantangan kontemporer.
Menyamakan Missiologi dengan PKUPPG menjadi masalah besar. PKUPPG sebagai pokok pokok kebijakan terlalu ’tehnis’ dan karenanya sangat terbatas kalau dilihat sebagai missi Gereja. Mereka yang belajar missiologi secara teoritis akan melihat bahwa PKUPPG hanyalah landasan kegiatan, dan bukan landasan konsep.
Menyamakan Ekklesiologi dengan Tata Gereja yang -dalam kenyataan GPIB- melulu berisi aturan aturan organisasi adalah menyamakan ’ilmu tentang Gereja’ dengan seperangkat peraturan organisasi belaka. Mereka yang belajar Ekklesiologi pasti tahu bahwa ’manajemen organisasi’ hanya bagian kecil dari ilmu tentang Gereja.

Hal Keempat : Sistimatika Berpikir Kontemporer :
Sekarang, di GPIB kalau kita bicara tentang ’Tata Gereja’, maka istilah itu , menunjuk pada satu kesatuan. Ada Tata Dasar, ada Peraturan Peraturan Pokok, ada Peraturan, dan ada Peraturan Pelaksanaan.
‘Tata Gereja’ yang dimaksud berada dalam satu kesatuan pikiran dengan dua hal lain, yakni Pemahaman Iman -yang berada lebih awal- dan PKUPPG -yang berada di akhir-. Kita memang belum menerima ’secara batin’ bahwa PKUPPG adalah Tata Gereja. Hal ini pasti ditentukan oleh kenyataan bahwa membahas PKUPPG cenderung membahas program yang dibutuhkan, sementara membahas Tata Dasar dst, cenderung membahas hal hal konseptual yang membuat program dibutuhkan. Tata Gereja sulit berubah, sementara PKUPPG bisa saja berubah secara cepat. Selain itu dalam kehidupan bergereja, mekanisme program jarang menjadi awal persoalan. Yang sering menjadi awal persoalan adalah mekanisme organisasi. Kedepan tidak mustahil bahwa baik Pemahaman Iman, Tata Dasar, rangkaian peraturan dan Pokok Pokok Kebijakan, semuanya akan dikumpulkan dalam satu wadah saja, yang bernama Tata Gereja.

Empat hal diatas mengantar kita pada keharusan untuk melakukan semacam rekonstruksi konseptual, pada’tiga pilar-utama’ Tiga pilar utama harus dimengerti secara baru, sesuai dengan kondisi GPIB sendiri.
Rekonstruksi konseptual itu akan kira kira sebagai berikut:
Tata Gereja GPIB ini terdiri dari:
Pemahaman Iman.
Ini menjadi semacam mukadimah teologi. Disini pokok pokok soal yang dihadapi umat dalam kenyataan, disikapi.
Tata Gereja
Ini berisikan Tata Dasar dan Peraturan Peraturan. Bagian Pembukaan Tata Dasar menjelaskan Visi dan Missi. Ini bagian Missiologi. Berikut Bab Bab yang memuat pandangan Gereja tentang dirinya sendiri. Baik wujud dan bentuk sampai dengan hal hal menyangkut penggembalaan. Peraturan Peraturan merupakan ’rambu’ untuk memungkinkan apa yang dipahami dalam pemahaman Iman dan Tata Dasar itu menjadi kenyataan.
PKUPPG.
Ini berisikan Kebijakan Kebijakan yang bersifat panduan dan strategis.
Bagian ini bisa dimasukkan, akan tetapi bisa juga dikeluarkan dari keseluruhan Tata Gereja sebagai dokumen tersendiri. Dokumen ini menjadi semacam acuan program selama sekian tahun.
Secara praktis, urutannya menjadi : Pemahaman Iman – Tata Gereja – PKUPPG.
Dengan demikian, maka urutannya adalah : (1) Teologi (2) Visi, Missi dan (3) Aksi.
Theologi sebetulnya telah berisikan Visi dan Missi. Visi dan Missi menjadi landasan dasar untuk memutuskan aturan -regulasi- yang benar. PKUPPG -yang diambil dari uraian Visi dan Missi pada bagian Tata Dasar dalam Tata Gereja-, adalah kebijakan, yang bersifat panduan dan strategis. Evaluasi nyata dari hidup bergereja dilakukan dengan melihat pelaksanaan PKUPPG sebagai tolok ukurnya. Berikut ini tiga pilar yang disebut-sebut selama ini akan dibahas satu deni satu.

Memahami Pilar-Pilar
Tiga Pilar yang diuraikan diatas tadi bukan sekedar uraian sistimatis melainkan juga sebuah model alur-pikir yang utuh. Pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa ada model alur pikir yang tidak utuh.
Model pertama adalah model mempertanyakan kata Alkitab’. Tapi lalu berhenti disitu saja. Jawaban terhadap masalah, nyaris ’hanya memindahkan sepotong dunia Palestina sekian ribu tahun lalu’ ke wilayah GPIB abad 21. Ketika menggunakan model seperti ini, maka kita harus berhati hati, jangan jangan kita sedang melakukan peng-Yahudian, yang baik oleh Yesus, maupun oleh Paulus dikritisi.
Model kedua adalah model mempertanyakan’apa kata Peraturan’. Tapi lalu berhenti disitu saja. Jawaban terhadap masalah nyaris merupakan interpretasi sangat pribadi tentang peraturan tanpa memperhitungkan latar belakang dan proses, dan sejarah peraturan. Ketika menggunakan model ini kita harus berhati hati, jangan jangan kita sedang melakukan ’pemelintiran makna’ yang pada gilirannya juga adalah ketidak-jujuran.
Model ketiga adalah model mempertanyakan ’apa Trend masakini’. Tapi lalu berhenti disitu saja. Jawaban terhadap masalah bersifat –easy going- tanpa bobot Alkitabiah, dan diluar tatanan. Ketika menggunakan model ini kita harus berhati-hati; jangan jangan kita hanya sedang sekedar mengikuti gaya kontemporer, dan mengambang.
Dalam model ’bangun-pikir’ GPIB, terhadap setiap problema dan tantangan yang muncul orang bertanya secara berurutan : Pertama, apa Pemahaman Iman kita tentang persoalan itu sendiri. Dalam pertanyaan ini, kita lalu dituntun pada apa kata Alkitab. Kedua, apa kata Aturan Dasar dan Aturan Aturan yang berintikan Visi dan Missi kita dalam persoalan ini pada posisi kita sebagai persekutuan orang beriman dalam masyarakat negara dan bangsa. Dalam pertanyaan ini, kita lalu dituntun pada aturan aturan dasar sebagaimana layaknya warga persekutuan yang bernama Gereja. Ketiga, apa Pokok Kebijakan konkrit yang cocok sebagai jawaban atas problema dan tantangan yang kita hadapi. Pertanyaan ini akan menuntun kita kedalam kenyataan perilaku.
Jelas sekali bahwa dalam model berpikir seperti ini, problema dan tantangan pada akhirnya diselesaikan dari konsep sampai ke perilaku. Bukan sekedar berhenti pada analisis yang mungkin kedengarannya tinggi, tapi karena tingginya justru tidak pernah membumi Dalam model ’bangun-pikir’ seperti yang dikatakan tadi, maka terjadi semacam proses transformasi yang membuka kita kepada pembaharuan. Sebab pemberlakuan pokok kebijakan bisa membuka wawasan Pemahaman Iman. Pemahaman Iman yang terbuka bisa membaharui Aturan Aturan dan Aturan Aturan yang relevan bisa berakibat pada Pokok Kebijakan yang menyangkut perilaku. Disini terjadi semacam spiral perobahan paradigma yang oleh sementara pihak bisa dikatakan sebagai proses these-synthese- antithese. Sementara pihak mengatakan ini proses pergeseran paradigma. Yang lainnya mengatakan ini proses transformasi. Yang pasti ini model bangun-pikir yang berspiral ke depan.

Pilar I. Pemahaman Iman GPIB. -Teologi-.
Pemahaman Iman GPIB menyangkut tujuh pokok, masing masing
1. Keselamatan : 8 Bahasan
2. Gereja : 9 Bahasan
3. Manusia : 8 Bahasan
4. Alam dan Sumber Daya : 6 Bahasan
5. Negara dan Bangsa : 7 Bahasan
6. Masa Depan : 6 Bahasan
7. Firman Allah : 4 Bahasan.

Kalau kita memperhatikan bahasan bahasan dalam Pemahaman Iman GPIB maka kita akan menyadari bahwa bahasan bahasan itu sudah merupakan ’perasan’ dari berbagai pendapat, dengan referensi Alkitabiah serta disiplin eksegese yang kaya. Tentu saja sangat disarankan agar bahasan demi bahasan dipahami. Sebab pemahaman theologis ini dengan sendirinya akan sangat berpengaruh pada pandangan tentang aturan dan kebijakan pelaksanaan dalam kehidupan kita. Berikut ini mau diberikan contoh bagaimana Pemahaman Iman menjadi pijakan, khususnya menyangkut soal soal Bidang Pelayanan Kategorial. Kita akan lihat misalnya pada pokok ’Keselamatan’ saja.

KAMI MENGAKU,

Bahwa Allah yang esa dengan FirmanNya dalam kasihNya yang tiada tara telah memulai karya keselamatan bagi alam semesta sejak awal Penciptaan dan setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Allah meneruskan karyaNya untuk memelihara alam semesta dari derita dan maut . Karya keselamatan ini berlangsung sampai pada akhir zaman
Bahwa dalam karya keselamatan melalui Yesus Kristus, Allah telah menyelamatkan dan menghimpun umat Perjanjian Baru yaitu Gereja yang diutus-Nya untuk memberitakan Injil dan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di atas bumi.
5. Bahwa oleh kasihNya yang tiada tara, Allah telah mewujud nyatakan keselamatan itu sepenuhnya melalui pekerjaan Yesus Kristus . Supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal.
6. Bahwa keselamatan yang dikerjakan Kristus terbuka bagi seluruh umat yang ada di muka bumi yang terdiri dari berbagai suku- bangsa. Dalam kasih-Nya yang tiada tara Allah mengaruniakan keselamatan, yakni: kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang dimerdekakan bertanggung jawab mengupayakan pembebasan dari ketidak adilan , perusakan alam dan pelecehan hak asasi manusia, kemerosotan etis-moral dan bentuk penindasan lainnya.
Bahwa melalui Roh Kudus, Allah menuntun orang percaya mengakui Yesus Kristus selaku Tuhan dan Juruslamat dalam pergumulannya di dunia.

Kalau dilihat dalam pokok pokok bahasan yang lain, maka kita akan menemukan begitu banyak dasar bagi esensi, eksistensi dan kompetensi Bidang Pelayanan Kategorial. Pada sisi lain, program program Bidang Pelayanan Kategorial akan mengawang tanpa konsep dan arah yang jelas, kalau itu hanya ’dikarang’ dan bukan bertolak dari upaya untuk mengeja-wantahkan pemahaman Iman.


Pilar II. Tata Gereja ; Visi, Misi dan Regulasi.
Tata Gereja kita sedang berada dalam proses perelevansian. Akan tetapi jelas bagi kita bahwa Tata Gereja kita adalah kumpulan aturan, dengan mana Visi dan Missi Gereja bisa dijalankan secara tertib dan ‘rapi tersusun’. Perelevansian Tata Gereja –sampai kapanpun- selalu akan berorientasi pada tujuan ini.
Tata Gereja kita dimulai dengan Tata Dasar. Setelah Tata Dasar, barulah menyusul Peraturan Peraturan. Padanannya dalam peraturan umum adalah Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga. Tata Dasar memuat hal hal yang lebih prinsip, sementara peraturan Peraturan memuat hal hal yang lebih tehnis.
Secara ringkas, Tata Dasar kita mempunyai pokok pokok sebagai berikut:
1. Pembukaan
2. Bab I tentang Pengakuan dan Pemahaman Iman
3. Bab II tentang Wujud, Warga dan Kelembagaan
4. Bab III tentang Panggilan dan Pengutusan.
5. Bab IV tentang Asas dan Pokok Pokok Kebijakan Umum
6. Bab V tentang Penyelenggaraan Penatalayanan Panggilan dan Pengutusan
7. Bab VI tentang Sumber Daya Gereja dan Pengelolaannya
8. Bab VII tentang Penggembalaan dan Pembinaan
9. Bab VIII tentang Pengawasan, Pemeriksaan dan Badan Pemeriksa
10. Bab IX Penutup.

Secara ringkas Peraturan Peraturan kita mempunyai pokok pokok sebagai berikut:
Peraturan Pokok :
Nomor 1 tentang Jemaat
Nomor 2 tentang Persidangan Sinode
Nomor 3 tentang Majelis Sinode
Peraturan :
Nomor 1 tentang Pemilihan Penatua dan Diaken
Nomor 2 tentang Tata Tertib Persidangan Sinode
Nomor 4 tentang Kepegawaian dan Pendeta GPIB
Nomor 5 tentang Perbendaharaan
Nomor 6 tentang Badan Pemeriksa Perbendaharaan
Peraturan Pelaksanaan :
Nomor 1 tentang Bidang Pelayanan Kategorial
Nomor 2 tentang Musyawarah Pelayanan
Nomor 3 tentang Pendewasaan dan Pelembagaan Jemaat Nomor 9 tentang Badan Pembantu.

Jelas bagi kita bahwa Peraturan Peraturan yang dicatat di atas menunjukkan konsep teologi yang ada dibelakangnya. Kehadiran Jemaat ada lebih dahulu. Tapi dalam ’berjalan bersama’ - pada konsep Presbiterial Sinodal- maka lembaga tertinggi adalah Persidangan Sinode. Sementara Majelis Sinode adalah produk Persidangan Sinode yang harus mengawal semua keputusan Persidangan Sinode. Kalau strukur Peraturan Pokok adalah Jemaat – Majelis Sinode – Persidangan Sinode, maka kita berada pada pikiran bottom-up. Kalau strukturnya adalah Persidangan Sinode – Majelis Sinode - Jemaat, maka kita berada pada pikiran top-down. Dalam semangat presbiterial sinodal, maka pola bottom-up dan pola top-down dikoreksi. Baik Jemaat, maupun Majelis Sinode diikat oleh keputusan Persidangan Sinode.
Bab II - VII dalam Tata dasar , Peraturan Pokok nomor 1 dan Peraturan Pelaksanaan nomor 1 pasti bisa menjadi latar belakang bagi esensi, eksistensi dan kompetensi Bidang Pelayanan Kategorial.
Sementara itu Buku Hasil Persidangan Sinode XVIII di Bali mencatat sebagai berikut:

Tema PKUPPG jangka panjang 2006 – 2026 sesuai dengan tema PS XVIII:
“YESUS KRISTUS SUMBER DAMAI SEJAHTERA” (Yohanes 14 : 27)

Visi ”GPIB menjadi Gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”

Missi : “Mewujudkan kehadiran GPIB yang membawa damai sejahtera Allah agar
menjadi berkat ditengah tengah masyarakat dan dunia”.

Motto : Dan orang akan datang dari timur dan barat dan dari utara dan selatan dan
mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah” (Lukas 13 : 29).

Jelas bahwa baik Tema Jangka Panjang, Visi, Missi, maupun Motto bisa menjadi landasan bagi esensi, eksistensi dan kompetensi Bidang Pelayanan Kategorial.
Pilar III: . Pokok Pokok Kebijakan Umum Panggilan
dan Pengutusan Gereja (PKUPPG) - : - Strategi Aksi.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya,
Tema PKUPPG jangka panjang 2006 – 2026 sesuai dengan tema PS XVIII adalah :
“YESUS KRISTUS SUMBER DAMAI SEJAHTERA” (Yohanes 14 : 27)
Visi ”GPIB menjadi Gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”
Misi : “Mewujudkan kehadiran GPIB yang membawa damai sejahtera Allah agar
menjadi berkat ditengah tengah masyarakat dan dunia”.
Motto : Dan orang akan datang dari timur dan barat dan dari utara dan selatan dan
mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah” (Lukas 13 : 29).
Tema, Visi dan Missi serta Motto jangka panjang ini dilaksanakan dibawah tema tema teologis setiap lima tahunan. Tema teologis lima tahunan ini kemudian dijabarkan lagi dalam tema tema tahunan. Hal yang sama terjadi juga dengan Pokok Pokok Kebijakan Umum Panggilan Gereja. Ada jangka panjang selama 20 tahun (2006 - 2026), tetapi ada juga yang lima tahunan. Berikut ini adalah tema tema Alkitab serta KUPPG.

TEMA FIRMAN ALLAH - TIAP KUPPG

2006 – 2011 : Mempersiapkan masa depan bangsa yang damai dengan sikap tulus dan jujur (Maz.37:37)
2011 – 2016 : Membangun tatanan kehidupan masyarakat yang rukun dan adil (Roma 15:5-7)
2016 – 2021 : Mengembangkan sumberdaya gereja untuk meningkatkan Pelayanan & Kesaksian di dalam dan bersama masyarakat
2021 – 2026 : Roh Kudus menuntun orang percaya bersinergi di dalam gereja untuk mewujudkan kasih Allah dalam dunia (Mat. 22:37; Ul. 6:5; Im. 18:19)

Tema Alkitabiah Tahunan KUPG 2006 - 2011

2006 – 2007 : Membangun masa depan dengan semangat pendamaian dan
Pemulihan dalam Yesus Kristus (Rom. 15:7)
2007 – 2008 : Melayani dalam ketulusan dan kejujuran (Maz. 25:21)
2008 – 2009 : Bersaksi dalam kekuatan kasih karunia Allah (II Kor.1:12)
2009 – 2010 : Roh Kudus memberi damai sejahtera dan sukacita
(Rom.14:13-23)
2010 – 2011 : Membangun masa depan bersama Roh Kudus (I Kor. 14:12)


SASARAN PKUPPG 2006 - 2026

2006 – 2011:
Tertatanya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan sektor Misioner RUTIN & NON RUTIN
Tersedianya data dan informasi yang terstruktur di seluruh tingkatan pelayanan
Tersedianya sistem (benchmark) untuk kegiatan pembinaan sumberdaya insani
Tersedianya sumber-sumber daya & dana untuk mendukung optimalisasi hasil kegiatan rutin & non rutin.
Terlaksananya manajemen organisasi GPIB yang profesional
Terlaksananya Pemilihan Majelis Jemaat, PHMJ baru
Tersedianya Rantap Tata Gereja GPIB yang baru untuk ditetapkan dalam PS XIX
Tercapainya kondisi persekutuan yang berkualitas tinggi untuk menjawab berbagai tantangan perkembangan zaman termasuk tanggap dalam berbagai permasalahan hukum, HAM, politik, dsb
Semakin nyatanya peran serta GPIB dalam gerakan oikumenis, PGI dan organisasi gereja dunia
Dimulainya sistem pembiayaan studi lanjut Pendeta (S2 dan S3) dari kontribusi rutin jemaat yang dikelola khusus untuk itu

2011 – 2016:
Terlaksananya kegiatan diberbagai tingkatan dengan keberhasilan kuantitatif dan kualitatif yang lebih baik dari periode sebelumnya
Tersedia dan tertatanya sistem Pembinaan dan Pendidikan di GPIB
Terlaksana dan terevaluasinya hasil penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam semua bidang secara mantap
Tercapainya pemahaman dan penghayatan yang tinggi terhadap pemahaman iman GPIB
Gereja telah siap menjadikan semua Pos Pelayanan, terjamin baik dari aspek Teologi maupun daya dan dananya termasuk di kawasan-kawasan kumuh perkotaan dan kawasan industri
Tercapainya keseimbangan dalam hidup bergereja sehingga jemaat yang mampu mensubsidi yang kurang mampu dalam suatu pola yang terkoordinir secara sinodal
Tersedianya berbagai fasilitas pengikatan mutu SDI seperti sekolah, rumah sakit dan pusat-pusat pelayanan lainnya di berbagai wilayah
Tersedianya berbagai kader (SDI) yang potensial untuk melaksanakan fungsi jemaat misioner di berbagai kategori jemaat

2016 – 2021:
Terselenggaranya kegiatan rutin dan non rutin di berbagai tingkatan secara mantap dengan indikator keberhasilan yang lebih baik dari periode sebelumnya
Tercapainya Upaya Kemandirian Daya dan Dana untuk menunjang berbagai kegiatan, minimum RUTIN
Tersedianya sumberdaya insani GPIB yang memadai untuk penyelenggaraan berbagai bidang kegiatan secara optimal
Terevaluasinya pemahaman iman jemaat termasuk pola tingkah laku, etika dan moral sehingga tampak kemajuan Pembangunan Tubuh Kristus
Tersedianya kader-kader GPIB yang berkualitas di berbagai bidang pelayanan di dalam dan di luar gereja
Tersedianya tenaga Pendeta lulusan S2 dan S3 dari berbagai Perguruan Tinggi dan berbagai Program Studi terakreditasi
Pegawai dan Pendeta telah memperoleh penghasilan dan jaminan hidup hari tua yang memadai dan pasti

2021 – 2026
Terwujudnya jemaat GPIB yang bersatu, utuh, kudus, am dan misioner
Terlaksananya kegiatan-kegiatan rutin dan non rutin secara mantap di berbagai tingkatan dalam suatu tatanan sistem pemerintahan GPIB yang ditaati bersama
Terselenggaranya kegiatan-kegiatan sektor Misioner yang sudah optimal
Terevaluasinya berbagai program untuk memacu optimalisasi kegiatan di berbagai sektor lainnya
Mampunya gereja (GPIB) dalam menanggulangi warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan
Tertampungnya anak yatim piatu, orang tua jompo, orang cacat, korban narkoba, dll dalam suatu lingkungan / tempat tinggal binaan milik GPIB ataupun hasil kerjasama dengan institusi lain
Tersedainya sumber dana tetap GPIB untuk membiayai berbagai aktivitas non rutin termasuk pembiayaan di pos-pos pelkes
Seluruh jemaat telah memiliki fasilitas ibadah yang permanen termasuk pastorinya dan memiliki IMB untuk gereja
Termanfaatkannya seluruh asset gereja secara optimal dan dalam koridor hukum

SASARAN PKUPPG 2006-2026
Per Sektor

SEKTOR MISIONER:
Terciptanya Presbiter GPIB yang bermutu, Warga Gereja yang Misioner serta memiliki hubungan timbal balik yang harmonis dalam masyarakat luas, serta mampu melaksanakan Tri Panggilan Gereja (Persekutuan Pelayanan dan Kesaksian) dengan tolok ukur keberhasilan program yang jelas. Selanjutnya, tercipta kondisi pemahaman iman GPIB serta seluruh materi bina teologis dan perangkat-perangkat pendukung lainnya secara lebih baik dan konsisten.
Terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan PELKES yang berpusat di wilayah-wilayah baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Sejalan dengan itu, tersedia perumahan dan jaminan hari tua Pendeta dalam suatu sistem yang tertata dengan baik dan benar.
profesional dengan sistem pendukungnya yang mantap, baik secara umum maupun berdasarkan kategori jemaat yang siap menjadi jemaat misioner dalam berbagai bidang pelayanan

SEKTOR INSTITUSIONAL:
Tersedia dan terlaksananya sistem pemerintahan GPIB yang ‘PRESBITERIAL SINODAL’ dalam arti yang sesungguhnya, di mana mekanisme organisasi dan manajemen gereja terlaksana sesuai kebutuhan GPIB.
Berjalannya mekanisme organisasi serta segala kebijakannya dan strategi pencapaian yang dilakukan atas hasil LITBANG yang berbasis pada data dan informasi yang akurat serta obyektif dan terstruktur.
Tersedianya sistem manajemen jemaat yang bersifat on-line

SEKTOR PENUNJANG :
• Tersedianya suatu prakondisi dan kondisi yang mantap guna mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan misioner di dalam GPIB ke dalam dan ke luar.
• Tersedianya sumberdaya serta dana yang optimal yang digunakan dan dikelola secara teratur dalam koridor hukum yang ditaati bersama oleh semua elemen-elemen dalam sistem GPIB

SASARAN KUPPG 2006 -– 2011

2006 – 2007 :
Terselenggaranya kegiatan rutin dan non rutin dengan indikator penilaian keberhasilan yang terukur, minimum secara kualitatif
Tertatanya Kantor MS-GPIB dan Majelis Jemaat sebagai pusat penyelenggaraan administrasi yang efektif, efesien dan profesional termasuk tersedianya PPMS dan PPMJ
Tersedianya sistem / tatalaksana organisasi GPIB dan pelaksanaan tata usaha / administrasi yang mantap, sesuai keketentuan Tata Gereja GPIB
Tersedianya sistem mutasi Pendeta GPIB & terlaksananya “tour of duty” di lingkungan kantor MS dan MJ
Terevaluasinya masalah dan kebutuhan Gereja dan Jemaat berdasarkan hasil Litbang
Tersedianya Sistem Informasi Manajemen GPIB yang tersosialisasi di berbagai tingkatan
Tersedianya paket dan mekanisme PWG yang terstruktur sesuai kebutuhan
Terbentuknya berbagai lembaga di dalam GPIB sesuai ketentuan Tata Gereja
Tersedianya pedoman studi lanjut bagi Pendeta/Pegawai GPIB
Tersedianya Pedoman perekrutan Calon Vikaris termasuk mekanisme pembinaan dan evaluasinya
Terevaluasinya berbagai hal yang berhubungan dengan masalah asset, lembaga-lembaga milik GPIB di berbagai tingkatan
Terbangunnya suatu sistem pengusahaan daya dan dana di dalam GPIB untuk diaplikasikan dalam periode KUPPG berikutnya
Tersedianya paket-paket pembinaan bagi para presbiter, PHMJ dan fungsionaris gereja lainnya
Terdatanya berbagai variabel yang diperlukan untuk penataan data-base jemaat dan pegawai GPIB
Tersertifikasinya tenaga-tenaga bina PA/PT dan pengajar katekisasi baik Pendeta maupun Penantua / Diaken
Dimulainya pengelolaan dana khusus untuk studi lanjut Pendeta GPIB yang berasal dari kontribusi jemaat di samping upaya penggalangan beasiswa dari dalam dan luar negeri
Tersedianya format yang baku baik di tingkat sinodal maupun jemaat, tentang format laporan / media informasi

2007 – 2008 :
n Terlaksananya berbagai kegiatan rutin dan dan non rutin secara profesional dan berkesinambungan atas dasar hasil evaluasi periode sebelumnya
n Tersosialisasinya SIM GPIB
n Terbangunnya dan dimanfaatkannya Website GPIB yang dikelola secala Kantor MS untuk kepentingan komunikasi, penataan data-base dan lain sebagainya
n Tersusunnya Pola pembinaan dan metoda pelaksanaan Pembinaan BPK yang spesifik
n Tersusunnya rencana pengembangan lembaga-lembaga, badan-badan pelaksana dan institusi lainnya dalam GPIB untuk mencapai hasil kerja yang lebih berkualitas
n Terbentuknya Tim Khusus untuk melaksanakan berbagai keputusan PS XVIII yang berhubungan dengan Tata Gereja GPIB
n Terlaksananya Program Pelkes yang lebih luas baik internal maupun eksternal
n Terlaksananya pengembangan dan sosialisasi aspek Teologis dalam kegiatan GPIB termasuk hubungan dengan negara dan masyarakat.
n Tersedianya konsep pengkaderan jemaat untuk menjamin kepemimpinan dan masa depan GPIB
n Tersedianya sistem prosedur baku menyangkut perencanaan, pengadaan, pengelolaan, pemeliharaan serta pelepasan atau penghapusan fasilitas gereja
n Tersedianya IMB untuk pembangunan gereja dan fasilitas lainnya
n Terdata ulang secara akurat, jumlah dan nilai assets GPIB termasuk kondisi pemanfaatannya saat ini
n Teratasinya masalah Yayasan Dana Pensiun GPIB
n Terselenggaranya berbagai kursus berjenjang yang diperlukan Pendeta/Pegawai GPIB sesuai kepentingan khusus
n Terdesiminasinya Buku Sabda-sabda GPIB yang ditulis dan diedit oleh Penulis/ Redaksi Profesional


2008 – 2009
n Terlaksananya Pembinaan SDI dengan pola yang relevan dengan kebutuhan di berbagai sektor dan tingkatan
n Terkoordinirnya berbagai kegiatan PWG dengan mengoptimalkan Pusat PWG di Griya Bina Lawang dengan Departemen Bindik dan Litbang serta pada hal-hal tertentu dengan Yapendik GPIB
n Terbangunnya GPIB Center di daerah Pasir Mukti, Cibinong
n Terlaksananya pendataan dan pengelolaan asset-asset GPIB secara profesional dan terkoordinir oleh MS GPIB
n Tersusunnya pola-pola pengusahaan dana dan daya untuk pelaksanaan di berbagai tingkatan
n Terlaksananya pengembangan pemahaman Teologis dari berbagai aspek kegiatan GPIB
n Terevaluasinya kegiatan-kegiatan BPK untuk kegiatan pengembangan atas rekomendasi hasil riset
n Terlaksananya kegiatan diakonia sosial yang mantap di jemaat maupun lewat Yayasan Diakonia
n Tercapainya proses penulisan yang profesional dari berbagai materi yang dikelola Lembaga Penerbitan GPIB
n Terlaksananya program komunikasi antara jemaat dengan MS maupun antar jemaat dengan jemaat dan Mupel lewat media khusus
n Terselenggarannya admnistrasi perkantoran gereja yang semakin mantap

2009 – 2010 :
n Terevaluasinya kinerja berbagai unit dan lembaga di dalam lingkup GPIB untuk rekomnedasi pengembangan maupun perubahan dalam Tata Gereja Baru
n Terevaluasinya kesiapan PS XIX dengan segala materi persidangan yang telah tersosialisasikan di berbagai tingkatan GPIB
n Tersedianya rekomendasi strategi baru untuk pelaksanaan kegiatan 5 tahun ke depan setelah PS XIX
n Tertatanya sistem administrasi kepegawaian Pendeta dan Pegawai GPIB untuk berbagai kepentingan
n Tersusunnya evaluasi penilaian kinerja berbagai kegiatan untuk diterapkan dalam periode KUPPG ke 2 Jangka Panjang II

2010 – 2011 :
n Terselesaikannya seluruh naskah atau materi Rantap PS XIX
n Terevaluasinya kinerja berbagai kegiatan mellaui Litbang untuk rencana pengembangan ke depan
n Terlaksananya semua kegiatan berdasarkan sasaran KUPPG I (2006-2011) dengan baik dan sesuai target sebelumnya
n Tersusunnya rekomendasi MS XVIII kepada PS XIX yang terstruktur, berbobot dan aplikatif

STRATEGI PENCAPAIAN SASARAN :
(1) Penjabaran setiap program rutin dan non rutin dalam berbagai bidang dengan indikator keberhasilan program yang “terukur” baik kualitatif maupun kuantitatif.
(2) Penyiapan kader SDI mulai dari tingkat PA, PT, GP dan PW serta PKB.
(3) Pendampingan dan penggembalaan
(4) Evaluasi dan pengkajian setiap hasil kegiatan
(5) Pelatihan, magang dan pendampingan berkelanjutan
(6) komitmen, konsistensi dari setiap insan GPIB untuk melaksanakan tugas panggilan dan pengutusan secara konsekuen
(7) optimalisasi pemanfaatan asset-asset GPIB secara profesional dengan pola kemitraan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

PROGRAM GPIB (2006-2011)

BIDANG IAI (TEOLOGIA):
Pembinaan Warga Gereja yang Misioner dan peningkatan mutu presbiter
Pengembangan hubungan/komunikasi antar denominasi dan antar umat beragama
Peningkatan bobot “PERSEKUTUAN”, “PELAYANAN” & KESAKSIAN baik internal maupun eksternal GPIB
Evaluasi kinerja seluruh fungsionaris gereja dan penentuan materi dan metoda pembinaan ke depan
Sosialisasi dan peningkatan Pemahaman Iman GPIB kepada seluruh warga gereja
Pemantapan sistem dan isi pengajaran (materi bina) BPK, pastoral, Katekisasi, dsb
Sosialisasi dan penjabaran AKTA-AKTA GEREJA secara konsisten
Pengembangan musik gereja dan kidung puji-pujian
Pembentukan dan pengembangan Departemen Teologia
Penyempurnaan /pengembangan pedoman khotbah serta pembinaan para Pelayan Firman guna penyampaian khotbah yang komunikatif, mudah dicerna dan atraktif
Pengembangan Tata Ibadah (Perbaikan mutu buku sabda-sabda)
Pelaksanaan KKR dan KPI secara periodik

BIDANG PELAYANAN DAN KESAKSIAN:
Peningkatan kualitas kegiatan PELKES yang berpusat di wilayah-wilayah
Pembangunan Rumah Sakit / Balkesmas/ Poliklinik GPIB
Penyediaan perumahan Pendeta & jaminan hari tua (Pilot Project di Mupel Jakarta Selatan)
Pembangunan dan pengelolaan Panti Jompo dan rumah singgah GPIB
Pengusahaan dan pelengkapan sarana & prasarana PELKES di Pos-pos pelayanan
Pendirian Yayasan Kedukaan GPIB
Pemantapan sistem kepedulian sosial akibat bencana alam, kelaparan, wabah penyakit, dsb baik lokal, regional maupun nasional
Penentuan standar bantuan diakonia sosial dalam jemaat
Penataan sistem pemberian beasiswa bagi warga jemaat dan Pendeta untuk studi lanjut
Mengadakan pembinaan Pelkes secara periodik
Membuat dan menetapkan mekanisme kesaksian secara tepat.

BIDANG PERENCANAAN & PEMBINAAN SDI:
Pelaksanaan operasional Pembinaan Warga Gereja, BPK dan Presbiter dari sisi desain kurikulum dan implementasinya
Pelaksanaan operasional pembinaan keterampilan tenaga bina Pelkes
Penyiapan tenaga-tenaga motivator GPIB dalam berbagai disiplin ilmu sesuai kebutuhan pos-pos Pelkes
Sertifikasi tenaga-tenaga pembina PA, PT, Katekisasi, dsb dari aspek kependidikan dan teknologi pendidikan.
Membantu operasionalisasi pemanfaatan terpadu dari Pusat Pembinaan Warga Gereja di Lawang
Pengelolaan sarana & prasarana (SDHMG) untuk kepentingan pembinaan warga gereja, presbiter dan Vikaris
Mendesain GPIB Center untuk kepentingan pembinaan Pendeta dan presbiter lain serta warga GPIB ke depan
Membantu dalam pelatihan / pembinaan BPK di lapangan
BIDANG PENDIDIKAN
Penyusunan dan sosialisasi Pedoman Studi Lanjut bagi Pendeta dan Pegawai GPIB
Penyiapan kurikulum pelatihan/pembinaan di berbagai bidang, bekerjasama dengan bidang-bidang lain
Evaluasi dan penataan ulang Yapendik dan operasionalisasinya
Peningkatan mutu pendidikan dasar sampai menengah bagi lembaga-lembaga di bawah Yapendik GPIB
Pengadaan STT sendiri atau pendirian Universitas GPIB
Mengadakan pembinaan administrasi keuangan lembaga-lembaga pendidikan di bawah Yapendik
Menyelenggarakan kerjasama pelaksanaan program S-2 melalui sistem universitas terbuka
Melakukan penjajagan untuk memperoleh beasiswa dari dalam dan luar negeri bagi pengembangan mutu pendidikan SDM GPIB
Mengupayakan beasiswa bagi studi lanjut Pendeta di dalam negeri yang berasal dari kontribusi jemaat secara rutin.

BIDANG PELAYANAN KATEGORIAL :
Membantu Operasionalisasi dan penjabaran kegiatan bidang-bidang lain sesuai kebutuhan pelayanan masing-masing kategori jemaat
Penataan ulang kegiatan-kegiatan BPK yang memberi warna khusus dalam pelayanannya berdasarkan kebutuhan anggota (kategori jemaat)
Peningkatan partisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara melalui keterampilan masing-masing kategori jemaat
Menemu-kenali kebutuhan anggota sesuai kategorinya dan mempersiapkan metoda pelaksanaan yang tidak mengulangi pola bidang-bidang lain, dsb
Membina keutuhan jemaat melalui BPK berdasarkan sistem presbiterial sinodal
Membuat program kerja BPK di tingkat sinodal secara lebih spesifik untuk kemudian dijabarkan di jemaat
Berperan serta dalam segala aktivitas pemberantasan narkoba, kekerasan dan pelanggaran HAM
Peningkatan prestasi dan daya kreasi terutama pada tingkatan PA sampai dengan GP

BIDANG GEREJA DAN MASYARAKAT:
Menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah maupun parlemen yang bersifat merugikan pelaksanaan kepercayaan umat kristiani pada umumnya
Mengadakan dialog-dialog dalam skala nasional untuk memberikan masuakan kepada pemerintah dan DPR
Pengembangan hubungan / komunikasi antar denominasi dan antar umat beragama
Partisipasi dalam berbagai forum gerejawi maupun pemerintahan dll
Membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan sosial lainnya
Berpartisipasi dalam pengembangan PGI dan gerakan oikumenis
Memfasilatasi kader-kader GPIB untuk duduk dalam berbagai institusi pemerintahan dan swasta yang potensial
Membina kehidupan sosial yang harmonis dan saling menguntung dengan lembaga-lembaga keagamaan lainnya

BIDANG ORGANISASI & KOMUNIKASI:
Sosialisasi Tata Gereja dan PKUPPG Baru
Penyiapan Juklak dan Juknis mekanisme organisasi GPIB sesuai Tata Gereja
Penyiapan perangkat manajerial organisasi GPIB yang fleksibel namun taat aturan
Penentuan standar kinerja Pendeta dan Pegawai GPIB dan mekanisme pelaksanaannya
Penentuan sistem pengendalian organisasi dan perangkat GPIB
Pengkajian penjenjangan jabatan, skala penggajian, asuransi, keselamatan kerja, dsb
Pemantapan tata laksana kepegawaian dan personalia GPIB termasuk penentuan persyaratan jabatan
Pembentukan Dewan Pakar GPIB tingkat sinodal maupun wilayah untuk membantu pelaksanaan berbagai kebijakan dan kegiatan
Pembuatan sistem perekrutan Pendeta, Pegawai, Vikaris GPIB dan tenaga-tenaga profesional lainnya
Pemantapan penggunaan Website GPIB untuk berbagai keperluan komunikasi
Penyediaan fasilitas / sistem informasi GPIB
Pembuatan Sistem Manajemen Jemaat
Pengembangan profesionalisme lembaga-lembaga di dalam GPIB
Pembuatan media komunikasi internal dan eksternal (majalah, buletin, brochures, dsb)
Pengembangan sistem pengawasan keuangan dan inventaris gereja (on-line)
Publikasi dan desiminasi berbagai terbitan GPIB termasuk informasi lintas jemaat, dsb
Pembuatan PPMS dan sosialisasi format umum PPMJ
Pembinaan hubungan dinamis antara Majelis Jemaat dan Majelis Sinode

BIDANG PENELITIAN & PENGEMBANGAN:

Studi identifikasi permasalahan-permasalahan dalam jemaat GPIB serta hubungan komunikatif dengan MS dan Mupel
Studi penjajakan kebutuhan pelatihan/pembinaan presbiter dan warga GPIB
Evaluasi sistem perekrutan Vikaris GPIB
Evaluasi sistem penilaian kinerja Pendeta dan pegawai GPIB
Penentuan indikator /tolok ukur keberhasilan / kinerja berbagai program GPIB
Pengkajian kepejabatan Pendeta dan penentuan persyaratannya
Pengkajian sistem pendidikan dan pembinaan di GPIB
Evaluasi berbagai kegiatan dalam GPIB sebagai bahan masukan untuk penyusunan program dan penentuan berbagai kebijakan
Menyusun sistem informasi manajemen GPIB
Mempersiapkan perangkat penunjang sistem informasi sesuai kondis jemaat
Mengkaji ulang sistem penentuan PTB Jemaat ke MS, sistem kolekte di jemaat dan kemungkinan pengaktifan perpuluhan

BIDANG EKUBANG (DANA & DAYA) :
Pembentukan Departemen Keuangan untuk mengoptimalkan sumberdaya dan dana
Penertiban dan pemantapan sistem dan mekanisme keuangan GPIB (sentralisasi atau bagi hasil?)
Evaluasi fungsi dan status asset-asset GPIB
Pembangunan sarana dan prasarana peribadatan
Pembangunan GPIB Center (Pejambon, Cibinong atau lokasi lainnya)
Pemantapan administrasi SDHMG
Pembangunan dan pelengkapan fasilitas di pos-pos Pelkes dan wilayah pelayanan lainnya
Pengembangan konsep ekonomi kerakyatan
Pengusahaan sumberdaya dan dana yang transparan dan berkesinambungan

BIDANG UMUM :
Peningkatan peran serta MS dalam kebijakan publik dalam NKRI
Penertiban asset-asset GPIB
Pelaksanaan bantuan hukum bagi jemaat dan institusi GPIB
Sertifikasi SDHMG dan penentuan mekanisme pengelolaannya
Pemberdayaan warga gereja dalam masalah hukum yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga, HAM, dsb
Sosialisasi kebijakan pemerintah dan GPIB
Perelevansian perangkat-perangkat hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan Tata Gereja Baru, dsb.
Apa apa yang dicetak ’miring’ diatas bisa jadi pertimbangan untuk bicara tentang esensi, eksistensi dan kompetensi Bidang Pelayanan Kategorial. Dengan ini mau dikatakan bahwa setiap pillar sebetulnya memberikan dukungan bagi pelayanan di bidang kategorial
Keseluruhan Pilar Pilar yang diuraikan tadi - Pemahaman Iman, Tata Gereja dan PKUPPG- jelas sekali saling menopang dan saling mengisi. Karena itu perlu menjadi pola berpikir dalam menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi program pelayanan. Sebab program pelayanan itu sendirilah yang menjadi unit terdepan kesaksian tentang kehadiran Gereja.

Memberlakukan Pilar Pilar
Menyusun Program secara Sinodal, berarti memadukan ketiga Pilar yang disebutkan diatas. Menyusun program pada tingkat jemaat berarti menambahkan ’muatan lokal’ pada paduan tiga pilar diatas. Disiplin ini yang masih harus ’dibiasakan’ ketika kita menyusun program. Banyak kali terjadi bahwa kita hanya menyusun program tanpa memperhatikan kesatuan ini, sehingga sering terkesan bahwa tema tema hanya merupakan ’tempelan’ pada program. Padahal mestinya program ada dibawah payung tema yang ditetapkan. Program secara konkrit mestinya merupakan pengejawantahan dari PKUPPG pada tingkat sinodal dengan tambahan ’muatan lokal’ pada tingkat Jemaat. Kalau dicontohkan untuk tahun 2008/2009, maka yang mestinya jadi pertimbangan kita secara urutan berpikir kira kira sebagai berikut:

Ø Tema (Jangka Panjang)
Ø Visi, Missi, Motto
Ø Sasaran PKUPPG per Sektor (Jangka Panjang)
Missioner
Institusional
Penunjang.

Ø Sasaran PKUPPG 2006 - 2026
Khusus 2008 - 2009
Ø Tema Alkitab per KUPPG (Lima Tahunan)
2006 – 2011 : Mempersiapkan masa depan bangsa yang damai dengan sikap tulus dan jujur (Maz.37:37)
Program GPIB 2006 - 2011 ( Sepuluh Bidang)
Tema Alkitab per Tahun
2008 – 2009 : Bersaksi dalam kekuatan kasih karunia Allah (II Kor.1:12)
Sasaran KUPPG 2006 – 2001
Khusus 2008 – 2009.

Pada tingkat Jemaat, dengan urutan berpikir yang sama setelah memperhatikan aspek aspek sinodal diatas, kita memberikan tekanan khusus pada :
§ Tema Tahunan
§ Sasaran KUPPG 2008 – 2009
§ Program dengan muatan lokal pada sepuluh bidang.


Catatan Penutup.
Pelaksana Panggilan dan Pengutusan Gereja pada bagiannya yang paling depan dan strategis adalah Jemaat, baik dalam pengertian institusi, maupun dalam pengertian ’warga’. Dalam hubungan inilah maka Bidang Bidang Pelayanan kategorial, justru menjadi ’ujung tombak’ pelayanan.. Penguasaan dan Pemahaman ini baru akan terinternalisasi atau menjadi semangat, kalau para pengurus BPK bukan hanya menguasai dan memahami, akan tetapi juga memberlakukannya. Kalau ini terjadi, maka baik program Sinodal maupun program Parokhial akan merupakan cara dengan mana kita membangun gereja dan jemaat kita menjadi Gereja dan jemaat Missioner.-


Pendeta Semuel Th. Kaihatu, M.Th.

Membangun Tim Kerja

Pendahuluan

· Istilah
Membangun tim kerja tidak sama dengan membangun kerja sama tim. Sebuah tim bisa saja dibangun dan setiap anggotanya bekerja dengan keras akan tetapi tim ini tetap tidak maksimal. Sebagai contoh adalah bila sebuah Panitia Natal Jemaat yang dibentuk oleh Majelis Jemaat dan setiap anggota panitia tersebut sudah merasa bekerja dengan sangat keras akan tetapi tetap saja masih banyak kekurangan yang terjadi.
Dalam contoh tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tim telah dibangun, akan tetapi kerja sama tim belum terbentuk. Jadi sekalipun judul tulisan ini adalah Membangun Tim Kerja akan tetapi yang dimaksudkan adalah membangun kerja sama tim.

· Definisi
Ada banyak sekali definisi mengenai tim; Akan tetapi untuk maksud tulisan ini maka tim didefinisikan sebagai sebuah kelompok kerja yang mempunyai tujuan yang sama dimana setiap anggotanya mengembangkan hubungan yang saling membangun. Kerja sama tim adalah usaha bersama dari anggota tim yang dilakukan secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Jadi yang menjadi kata kunci adalah usaha bersama, terkoordinasi dan tujuan bersama Apabila ada salah satu unsur yang tidak dipenuhi maka kerjasama tim tidak akan maksimal.


Membangun Tim

· Keuntungan adanya kerja sama tim antara lain:
² Mendapatkan hasil yang maksimal
² Meningkatkan motivasi anggota tim
² Menciptakan tempat persekutuan yang baik
² Merupakan tempat mengembangkan diri dari anggota tim

· Masalah yang dihadapi dalam membangun tim antara lain:
² Kurangnya kepemimpinan (bukan berarti tidak ada pemimpin)
² Ketidakmampuan anggota tim untuk melaksanakan perannya
² Kurangnya komitmen dari anggota tim (mis: tidak menepati janji)
² Suasana yang tidak membangun (mis: saling menyalahkan, dlsb)
² Ketidak jelasan peran & tanggung jawab masing-masing anggota

· Beberapa hal yang bisa menjadi penghalang dalam membangun tim
² Perbedaan latar belakang, kebiasaan, cara berinteraksi, cara berpikir.
² Perbedaan tingkat motivasi maupun dasar motivasi

· Dimensi pengembangan tim
² Ada 4 dimensi umum yang harus diperhatikan dalam pengembangan sebuah tim yaitu: individu, tugas, tim dan organisasi.
² Dimensi individu terdiri dari motivasi, komitmen, sikap, kemampuan dan partisipasi anggota tim
² Dimensi tugas terdiri dari tujuan, penentuan target, proses yang sistimatis
² Dimensi tim terdiri dari kepemimpinan, peran, komunikasi, hubungan antar pribadi, kemampuan dalam mempengaruhi, konflik, analisis masalah, pengambilan keputusan, pertemuan/rapat, koordinasi, keterikatan, sistim nilai, dlsb
² Dimensi organisasi terdiri dari struktur organisasi, suasana kerja, dukungan terhadap pengembangan, penghargaan, budaya.

Motivasi

· Motivasi secara umum adalah yang mendasari seseorang untuk berperilaku. Jadi motivasi adalah mengenai dorongan, kebutuhan dan keinginan yang biasanya diwujudkan melalui perilaku dari seseorang Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang akan lebih giat, lebih baik dan lebih produktif bila memiliki motivasi yang tinggi.Kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu kemampuan, motivasi dan lingkungan. Agar seseorang bisa punya kinerja yang tinggi maka ia harus tahu bagaimana melaksanakan tugasnya (kemampuan), harus mau untuk melaksanakan tugasnya (motivasi) dan yang terakhir adalah harus diberi kesempatan dan dibantu untuk melaksanakan tugasnya (lingkungan).

· Dalam konteks tulisan ini maka yang akan dituliskan adalah hanya motivasi.

² Faktor yang mempengaruhi motivasi
à Ada tiga bentuk yang memotivasi seseorang yaitu: desakan dari dalam, tarikan dari luar dan dorongan dari luar
à Dorongan dari dalam adalah motivasi yang dari dalam diri orang tersebut. Misalnya seseorang yang oleh karena keyakinan imannya melakukan aksi bunuh diri, atau oleh karena keyakinan imannya telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani orang miskin/sakit (mis: mother Theresa)
à Dorongan dari luar adalah motivasi yang datang dari luar yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dorongan tersebut misalnya dari anggota keluarga, teman dekat, atasan, bawahan, dlsb. Contohnya adalah seseorang yang ikut aktif dalam pelayanan di gereja oleh karena dorongan dari anggota keluarga (mis: “Papa kan sudah jadi presbiter, masak kamu sebagai anak papa kok tidak ikut kegiatan pelayanan sih….”).
à Tarikan dari luar adalah motivasi yang datang dari luar yang menarik seseorang untuk melakukan sesuatu. Tarikan tersebut misalnya dari keinginan mendapatkan sesuatu, mis: Ani sangat aktif dalam pelayanan GP karena ia “naksir berat” kepada Budi yang menjadi ketua GP.

² Teori-teori motivasiAda banyak teori tentang motivasi yang sudah dikembangkan sejak dahulu, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut
à Teori hirarkhi kebutuhan (Maslow) – Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang tersusun berdasarkan hirarkhi dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Tingkatan kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk diakui dan dihargai, kebutuhan untuk beraktualisasi.
à Teori dua faktor (Herzberg) – Menurut Herzberg ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan manusia yaitu faktor motivator dan faktor hygiene
à Teori kebutuhan ERG (Alderfer) – Menurut Alderfer manusia mempunyai tiga kebutuhan dasar yaitu kebutuhan eksistensi, keterkaitan dan berkembang
à Teori kebutuhan sosial (McClelland) – Menurut Mcclelland perilaku seseorang didasari oleh tiga hal yaitu kebutuhan akan kekuasaan, kebutuhan untuk berbprestasi dan kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial
à Teori penetapan tujuan (Locke) – Menurut Locke apabila para anggota tim turut berpartisipasi dalam memecahkan masalah di tim tersebut maka mereka akan merasa lebih terlibat sehingga produktifitas meningkat.
à Teori persamaan (Adams) – Menurut Adams, individu menginginkan adanya kesamaan dan keadilan dalam perlakukan yang diberikan oleh tim, demikian juga mereka cenderung untuk membandingkan penghargaan yang diterimanya dengan usaha yang telah dilakukan.
à Teori harapan (Vroom) – Menurut Vroom kekuatan dari kecenderungan berperilaku adalah tergantung dari kekuatan suatu harapan bahwa tindakan akan diikuti dengan hasil tertentu dan pada derajat ketertarikan individu pada hasil yang akan diperoleh
² Hampir semua perilaku manusia di dalam suatu organisasi/tim bisa dijelaskan maupun diantisipasi melalui teori-teori di atas


Pemahaman tentang tim

· Kepemimpinan di dalam tim didefinisikan sebagai
² Suatu kemampuan untuk mendorong kinerja tim ke tingkat yang lebih tinggi dengan mentransformasikan visi ke tindakan
² Suatu keterampilan yang bisa dipelajari & dilatih yang umumnya berkaitan dengan hubungan antar pribadi.
² Kepemimpinan di dalam tim tidak berarti harus secara formal (Ketua Majelis Jemaat, Ketua BPK, atau Ketua Panitia Paskah). Seseorang yang mempunyai keterampilan kepemimpinan bisa saja mendorong kinerja tim ke tingkat yang lebih tinggi sekalipun ia hanya sebagai anggota biasa pada tim tersebut.
² Beberapa ciri kepemimpinan yang efektif antara lain: kemampuan berkomunikasi secara efektif, keyakinan diri, kemampuan bersosialisasi, kematangan mental dan emosional, motivasi dan kemauan (determinasi).
² Oleh karena banyaknya literatur mengenai kepemimpinan, maka di dalam tulisan ini tidak dijabarkan lebih lanjut.

· Peran di dalam tim
² Ada berbagai peran yang harus dilaksanakan di dalam suatu tim. Dari sisi tugas (task) yang harus dilakukan, maka peran seseorang di dalam tim dapat dilihat melalui struktur organisasi/tim. Jabatan di dalam suatu tim mis.: ketua, sekretaris, bendahara, dlsb menunjukkan peran yang diinginkan dalam suatu tim.
² Dalam kenyataannya peran yang dibutuhkan dalam suatu organisasi/tim jauh lebih kompleks dari hanya dari sudut pandang tugas tersebut. Menurut Dr. Meredith Belbin (1981) ada 9 peran yang dibutuhkan dalam suatu organisasi/tim yaitu: the coordinator, the shaper, the plant, the monitor evaluator, the implementer, the team worker, the resource investigator, the completer dan the specialist.



· Komunikasi
² Dalam berhubungan dengan sesama anggota tim, tidak jarang terjadi ketidak lancaran komunikasi dalam bentuk salah pengertian, salah menangkap maksud dari pembicara,dsb. Sehingga kata-kata atau kalimat dari anggota tim yang satu ditafsirkan atau kurang dimengerti oleh anggota tim lainnya.
² Komunikasi adalah dasar dari semua interaksi manusia dan bagi semua fungsi kelompok. Melalui komunikasi setiap anggota tim akan dapat mencapai pengertian satu sama lain, membina kepercayaan, mengkoordinir tindakan, merencanakan strategi untuk mencapai tujuan ataupun melakukan aktivitas tim.
² Meskipun komunikasi tampaknya sederhana, tetapi untuk memperoleh komunikasi yang efektif, seringkali banyak sekali hambatan. Hambatan tersebut dapat berasal dari si pengirim berita, si penerima berita maupun faktor situasi dan kondisi.
² Beberapa hambatan dalam berkomunikasi antara lain: latar belakang individu-individu yang berkomunikasi, sistim nilai para individu tersebut, bahasa, sikap pada saat berkomunikasi, lingkungan.
² Keterampilan berkomunikasi yang perlu dikembangkan antara lain: kemampuan mendengar (listening), kemampuan untuk memberi maupun menerima umpan balik, kemampuan memberi nasihat (coaching), kemampuan meningkatkan hubungan antar pribadi, kemampuan meningkatkan saling percaya dan adanya keterbukaan.

· Konflik
² Konflik tidak selamanya negatif. Dalam beberapa hal konflik bisa menjadi positif, mis: merasa beban terlepas, mendapatkan perspektif baru, keputusan yang diambil menjadi lebih baik, perbedaan bisa lebih dipahami, meningkatkan self-esteem
² Ada beberapa jenis konflik yaitu: goal conflict (konflik karena beda tujuan), cognitive conflict (konflik karenabeda ide/konsep), affective conflict (konflik karena perasaan tidak suka atau karena kemarahan), behavioral conflict (konflik karena perilaku yang tidak cocok/sesuai)
² Ada beberapa pola untuk menghadapi konflik (lihat diagram)


² Beberapa cara untuk menanggulangi konflik antara lain: negosiasi, keterampilan inter personal, menyadari perbedaan jender & budaya, meminta maaf, memberikan appresiasi, memaafkan, berkorban, memakai mediasi,


Pertumbuhan & Pengembangan tim

· Dukungan organisasi terhadap tim
² Organisasi bisa mendukung kinerja dari suatu tim dengan cara menciptakan iklim organisasi yang kondusif yaitu antara lain: atmosfir keterbukaan & saling percaya, kesetaraan dari setiap anggota (apapun posisinya) dalam berinteraksi, adanya kesempatan untuk pengembangan diri, kesediaan untuk berubah.
² Dukungan lainnya adalah dalam bentuk menjadi sumber daya (resources) bagi tim serta penghargaan yang selayaknya (khusus di dalam tim yang ruang lingkupnya adalah organisasi sosial, maka penghargaan yang dimaksud adalah intrinsic reward)


· Empat phase pertumbuhan
² Tim tidak terbentuk begitu saja, tetapi melalui tahapan tertentu, yang pada setiap tahap mempunyai ciri dan karakter sendiri sehingga setiap tahap memerlukan penyelesaian sendiri
² Lima tahapan pembentukan tim (Tuckman) yaitu: tahap pembentukan (forming), tahap badai (storming), tahap pembentukan norma (norming), tahap kinerja tinggi (performing) dan tahap bubar/pemutusan hubungan (adjourning)


· Tim yang berkinerja tinggi
² Karakteristik dari tim ini antara lain: mempunyai maksud & tujuan yang sama, dibentuk dengan sengaja, memiliki peran yang jelas, mempunyai proses komunikasi, kepemimpinan yang diterima dan mendukung anggota, ukuran organisasinya kecil, akuntabilitas, iklim keterbukaan & saling percaya.
² Beberapa tips bagi untuk mencapai tim yang berkinerja tinggi antara lain: fokus pada maksud & tujuan, selesaikan konflik, fokus pada baik proses maupun isi, partisipasi aktif, masalah yang sensitif tetap dijaga “confidential”, komunikasi secara terbuka dan positif, dlsb.


Penutup


Kiranya materi pembinaan ini bermanfaat bagi pengurus BPK di lingungan GPIB dan terutama bagi pekerjaan pembangunan tubuh Kristus.

Selasa, 24 Juli 2007

Persembahan Persepuluhan

PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN

Sebuah Tantangan Praktek Beriman

(Pdt. S.Th. Kaihatu)

Asal-mula Adanya Persembahan

Penelitian antropologi budaya menginformasikan kepada kita bahwa pada mula pertama sekali manusia hidup dalam fase ‘pemetik’. Mereka hidup dari buah buah pohon. Pada masa itu mereka menyembah bumi. Sebab bumi dilihat sebagai ‘Sang Ibu’ yang menghidupi. Fase ini diikuti oleh fase berburu. Mereka memburu binatang untuk dimakan. Karena binatang-buruan itu ‘kelihatannya’ sudah disediakan bumi, maka tetap saja bumi disembah sebagai ‘sang Ibu’ yang menghidupi. Fase ketiga adalah fase pertanian. Apa yang dinikmati dalam fase pertama tadi, seka-rang dibudi-dayakan. Namun ada perobahan penting dalam penyembahan. Dalam budaya pertanian-awal, selain fungsi bumi sebagai tempat bercocok tanam, maka dua hal menjadi mengemuka, yakni hujan dan matahari. Orang menyadari bahwa tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan di bumi. Obyek penyembahan bergeser, dari penyembahan terhadap bumi, menjadi penyembahan terhadap matahari. Dalam rangka ini matahari dilihat sebagai raja dan panglima yang perkasa yang menakluk- kan kegelapan malam. Fase keempat adalah fase penggembala[1]. Apa yang dinikmati dalam fase kedua tadi, sekarang dibudi-dayakan. Tetapi seperti kita mengerti, ternak yang digembalakan tergantung dari rumput, rumput tergantung dari hujan dan hujan tergantung dari matahari, maka obyek penyembahan tetap pada matahari. Bukan pada bumi[2].

Krisis kehidupan nampaknya tidak intens dalam fase pemetik dan fase ber-buru. Sebab pada kedua fase ini kekurangan-pangan dijawab dengan langkah seder-hana, yakni berpindah tempat. Itulah sebabnya kedua fase ini sering disebut sebagai satu fase saja, yakni fase nomaden. Sebetulnya dalam arti sempit, fase penggembalaan ternak juga bisa dipandang sebagai fase nomaden. Sebab dalam fase ini orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rumput dan air bagi hewan gembalaannya. Bedanya adalah bahwa pada fase penggembala sudah ada semacam ‘home base’ kemana mereka pasti akan pulang. Budaya menetap sebetulnya baru benar benar menjadi kenyataan dalam fase pertanian. Jadi sebetulnya fase penggem-bala adalah semacam penghubung antara budaya nomaden dan budaya menetap.

Persoalan muncul ketika terjadi krisis krisis yang menyebabkan hidup menjadi sulit. Ada banjir besar, ada musim kering yang panjang dsb, gunung meletus dsb. Sejak dari agama Purba, orang mengimani, bahwa ada kekuatan penentu kehidupannya dan berada diluar dirinya. Dan guna menyenangkan hati Sang Kekuatan itu, -baik ketika semuanya berhasil dengan baik, maupun ketika terjadi krisis- maka mereka memberikan Persembahan. Entah dari hasil tani, pun ternak pun harta milik. Sejajar dengan perkembangan peradaban, yang kemudian bertambah dengan perniagaan dan bidang bidang lain yang sekarang dikenal sebagai sektor jasa, maka persembahan juga makin bervariasi. Ini kita catat semuanya untuk menggaris-bawahi empat hal.

Pertama, bahwa sekalipun gaya hidup dan gaya mata pencaharian berkembang, tetap saja logika bahwa rejeki melibatkan ‘campur tangan dari suatu kekuatan yang tak terlihat yang berada diatas’ tetap saja berlaku sepanjang sejarah peradaban.

Kedua, bahwa persembahan itu diberikan dari berbagai jenis mata pencaharian yang makin bervariasi. Ketiga, pengaturan terhadap apa yang dipersembahkan itu makin lama makin bervariasi juga. Keempat, ini semua diyakini sebagai kehendak dari kekuatan yang tak terlihat itu.

Persembahan dalam Tradisi Alkitab.

Fase fase antropologi budaya yang dikatakan diatas, terutama fase ketiga dan keempat juga terjadi dikalangan agama-agama Semitik, dalam hal ini agama Yahudi, sejak Israel kuno. Dalam kitab kejadian misalnya kita membaca tentang Kain dan Habil yang mempersembahkan hasil pertanian dan peternakan.

Dalam pemahaman spiritual orang Israel, karena Allah sudah melakukan kebaikan, maka umat mengungkapkan kesaksian mereka tentang apa yang sudah Allah lakukan itu dalam bentuk korban dan persembahan. Umat yang tidak melakukannya akan di-pandang sebagai pihak yang tidak tahu berterimakasih. Sebab Allah telah memberikan berkat secara cuma-cuma pada jalan kehidupan. Inilah gambaran situasi spiritual yang harus kita mengerti, kalau kita mau memahami korban dan persembahan dalam Alkitab.

Di dalam Alkitab kita membaca bagaimana persembahan diterima berdasarkan kwalitasnya. Artinya melalui kwalitas persembahan itu kita bisa melihat sikap hati orang yang memberikan persembahan. Orang yang tulus memberikan yang terbaik untuk dipersembahkan. ‘Menyisihkannya’ sejak awal untuk dipersembahkan. Orang yang tidak tulus, menjadikan persembahan sebagai basa-basi, dan karena itu memberikan apa yang ‘disisakan’ di akhir semuanya sebagai persembahan.

Karena Allah memperhatikan sikap hati inilah, maka persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habil diterima. Terlepas dari apa yang terjadi kemudian, kita belajar satu hal, bahwa, Tuhan Allah melihat sikap hati. Dan karena itu sikap kita ketika memberikan persembahan harus cocok dengan apa yang Tuhan Allah inginkan.

Dalam rangka pembahasan kita pertama sekali kita perlu ingat bahwa ada dua istilah yang sangat dekat penggunaannya dalam Alkitab. Istilah-istilah itu adalah ‘Korban’ dan ‘Persembahan’.

Kalau istilah korban digunakan, maka itu pasti menyangkut sesuatu yang disembelih. Ada darah di sana. Sementara kalau istilah persembahan digunakan, maka tidak harus ada yang disembelih. Jadi istilah persembahan lebih luas jangkauannya dari istilah korban.

Kita perlu mengenal lebih dahulu jenis jenis korban dan persembahan dalam tradisi Alkitab, sebab dengan demikian kita juga akan memahami makna korban dan persembahan itu sendiri. Karena banyaknya, kita ikhtisarkan saja sebagai berikut:

1. Korban Pendamaian

Dilakukan untuk meminta pendamaian bagi dosa dosa yang tidak disengaja (Bil. 15/22 ff). Ini tidak berlaku bagi dosa yang disengaja (Bil 15/30-31). Ini adalah korban yang diberikan untuk meminta pendamaian atas dosa-dosa yang dilakukan. Dengan melakukan perbuatan dosa, manusia lalu menjadi seteru Allah. Dalam posisi itu manusia berhutang nyawa pada Allah. Nyawa itu dilambangkan dengan darah. Maka yang harus terjadi adalah penebusan yang dilambangkan dengan darah juga, sebagai cara pendamaian. Korban Pendamaian ini terbagi atas dua jenis:

a. Korban Penghapus Dosa

Dilakukan untuk untuk memperbaiki kembali hubungan dengan Allah dan untuk menebus dosa.

b. Korban Penebus Salah

Berhubungan dengan pertobatan seseorang yang telah mencuri milik sesamanya, atau juga lalai membayar nazar atau tidak membayar iuran kepada Imam. Mirip dengan korban penghapus dosa. Sebelum hewab korban disembelih, orang yang merasa dirinya berdosa, harus meletakkan tangannya pada kepala hewan tersebut sebagai lambang bahwa dia menyerahkan dosanya untuk ditanggung oleh binatang tadi.

Dalam Imamat 4 – 7 kita membaca sejumlah aturan tentang korban penghapus dosa dan korban penebus salah ini.

2. Korban Pemujaan

a. Korban Bakaran

Lambang penyerahan diri kepada Allah ( Im.1)

b. Korban Keselamatan

Sama dengan Korban bakaran, tapi hanya lemaknya yang dibakar (Im.3; 7/11-12, 28 – 34).

i. Korban Puji-pujian

Tanda terimakasih atas karunia karunia Tuhan

ii Korban Nazar

Dipersembahkan dengan suatu janji secara sukarela, akan tetapi begitu janji diucapkan, maka Tuhan Allah menagih janji itu agar ditepati (Ul 23/21-23)

iii. Korban Sukarela

Dipersembahkan dengan sukarela tanpa suatu janji

c. Korban Sajian

Dipersembahkan sebagai tambahan pada korban bakaran dan korban sembelihan sebagai lambang persembahan hasil bumi. (Im 2; 7/12 -14; Ul 15/ 3 – 10)

Tentu saja kita bisa memperdalam dan menemukan jenis korban lain juga seperti korban perjanjian, korban kecemburuan dan lain lain lagi. Namun hal korban bukanlah focus kita. Ikhtisar diatas sebetulnya hanya mau menunjukkan betapa banyak kelemahan manusiawi kita yang ditanggung oleh korban satu pribadi saja, yakni Yesus Kristus. Sehingga melalui Dia kita terbebas dari rumitnya korban korban khas Perjanjian Lama.

Sementara itu mengenai hal Persembahan, ternyata banyak sekali bentuknya.

Karena banyaknya kita akan sebutkan beberapa saja.

Pertama. Persembahan dalam arti umum. Persembahan ini adalah pemberian berupa uang atau harta benda lainnya bagi pekerjaan Tuhan. Kita temukan ini misalnya untuk pembuatan kemah Suci (Kel. 35/5) atau juga untuk menolong sesama orang miskin . (Kis. 24:17).

Kedua. Persembahan pagi dan petang atau persembahan tetap (Kel 29/38). Persembahan ini berhubungan dengan pengakuan bahwa Tuhan Allah sendirilah yang menuntun umatnya keluar dari penderitaan. Dan tetap bersedia berdiam diantara mereka. Persembahan ini dilakukan dalam berbagai variasi, dengan nama-nama yang berbeda, sesuai dengan tekanan peristiwanya. Misalnya persembahan cucuran atau persembahan curahan.

Ketiga. Persembahan Khusus, yakni sesuatu yang dipisahkan untuk Tuhan. Karena umat menatang, menimang atau mengunjuk persembahan ini, maka persembahan ini disebut juga persembahan tatangan, persembahan timangan atau persembahan unjukkan. Kita membaca tentang persembahan persem-bahan ini dalam Kel 25/2; 29/ 24 – 28 ; Bil 18/8, 19; Neh. 12/44; dan banyak lagi bagian Alkitab yang menunjuk pada hal tersebut.

Keempat. Persembahan Pentahbisan. Ini khususnya berhubungan dengan pentahbisan Imam (Im 8/22-31).

Seluruh persembahan-persembahan yang disebutkan tadi, tergolong dalam persembahan pemujaan. Persembahan persembahan yang mengungkapkan peng-akuan bahwa tanpa Tuhan umat tidak akan menerima berkat, tetapi sekaligus jawaban terhadap tantangan kehidupan, bahwa hidup orang percaya, aman dalam tangan Tuhan. Salah satunya yang sering masih menjadi kontroversi ada-lah Persembahan Persepuluhan.

Persembahan Persepuluhan

Kita tiba pada bagian yang sekarang merupakan pokok pembicaraan kita. Topik persembahan persepuluhan ini telah menimbulkan semacam kontroversi dan dilemma di GPIB. Dikatakan kontroversi karena ada banyak orang yang tidak menyetujui adanya persembahan persepuluhan. Mereka melihat ini dari segi ekonomis memberatkan. Mereka melihat ini sebagai semacam pajak dalam bergereja. Mereka juga melihat ini memberatkan karena sudah ada PTB segala. Dikatakan dilemma, karena banyak gereja dan warga gereja juga mengatakan bahwa GPIB bukanlah gereja yang benar, karena tidak menjalankan perpuluhan. Malahan banyak warga GPIB yang memper- sembahkan persepuluhan di gereja lain karena di GPIB sendiri tidak diberlakukan persembahan persepuluhan.

Kontroversi dan dilemma ini makin ramai karena ada kenyataan bahwa ada warga Gereja yang mempersembahkan perpuluhannya kepada Yayasan, Lembaga tertentu, malahan kepada Pendeta atau Hamba Tuhan yang melayani. Dan yayasan, lembaga, apalagi hamba Tuhan ini merasa, kalau itu sebagai berkat, dan menikmatinya.

Beberapa Praktek Persembahan Persepuluhan dalam Alkitab

Praktek Persepuluhan kita baca dalam berbagai bagian Alkitab, terutama Kitab Perjanjian Lama. Kenyataan ini bisa kita fahami karena Umat Israel sangat menekankan hal hal ritual yang dalamnya ada korban dan persembahan, sementara semuanya itu menuju kepada Yesus Kristus. Namun itu tidak berarti bahwa masyarakat Perjanjian Baru tidak melaksanakan persembahan sama sekali. Bisa dikatakan bahwa orang Kristen pertama pasti masih mengikuti tradisi Yahudi, kecuali dalam satu hal yakni korban yang berdarah. Tradisi perjanjian Baru itu yang kemudian sampai kepada kita, termasuk persembahan persepuluhan.

Pemberian persepuluhan sebagai persembahan kita baca pertama sekali dalam Kejadian 14/20[3]. Dikatakan di sana, bahwa seorang raja bernama Melkisedek, sekaligus imam Allah yang Maha tinggi, keluar menyambut Abram, setelah Abram berhasil mengalahkan banyak raja-raja lain yang menawan Lot seke-luarga. Dan Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya

Nama Melkisedek itu berarti ‘Raja Kebenaran’. Nama itu berasal dari dua patah kata: Melekh yang berarti Raja, dan Tzadik yang berarti kebenaran atau kebi-jaksanaan. Maka, mereka yang membaca ayat ini dengan mendalam akan mengerti, bahwa Abram memberikan sepersepuluh dari semua yang dia dapat dari perang mengalah-kan para raja, kepada Raja Kebenaran yang adalah Imam Allah Yang Maha-tinggi’. Mudah-mudahan jelas bagi kita -yang menghubungkan gelar Raja dan Imam pada orang yang sama- bahwa ini adalah Tuhan sendiri.

Abraham -Bapa orang beriman- memberikan sepersepuluh dari pendapatannya kepada Tuhan. Ini data pertama tentang persepuluhan, yaitu bahwa orang beriman memberikan persepuluhan kepada Tuhan dari semua hasilnya.

Dalam Kejadian 28/22 kita membaca bahwa setelah mengalami mimpi di Betel, Yakub berjanji, bahwa dia akan mempersembahkan sepersepuluh dari semua yang Tuhan berikan kepadanya kelak. Perhatikanlah kenyataan yang luar-biasa ini. Yakub waktu itu barulah seorang pelarian. Dia tidak memiliki apa- apa. Tapi dia bernazar tentang persepuluhan.

Orang beriman bernazar atau berjanji bagi Tuhan untuk memberikan perse-puluhan dari semua hasilnya kepada Tuhan, justru ketika dia masih dalam usaha untuk mencapai hasil.

Dalam uraian kepada orang Ibrani[4] (Ibr 7/9) kita membaca kenyataan yang menarik. Suku Lewi -karena tidak mendapat pembagian tanah- berhak atas persepuluhan. Dari persembahan itulah mereka hidup. Dengan kata lain orang Lewi mendapat penghasilan dari persembahan persepuluhan umat. Namun dari mereka pun -karena mereka keturunan Abraham, ditarik juga persembahan persepuluhan.

Kita harus mengatakan kenyataan yang jujur ini. Bahwa tidak seorangpun bisa mengatakan diri bebas dari persembahan persepuluhan sekalipun dia hidup dari persembahan persepuluhan itu sendiri.

Dalam II Tawarikh pasal 31, kita membaca bagaimana Raja Hizkia memerin-tahkan agar Israel hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dalam rangka itu Hizkia mengatur pengumpulan dan pendistribusian persembahan. Termasuk didalamnya persembahan persepuluhan. Sang Raja juga ikut membayar kewajibannya. Ayat ayat terakhir dari pasal 31 ini menyimpulkan bahwa begitulah Hizkia bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan dan karena itu dia berhasil dalam semua usahanya.

Kita melihat kenyataan menarik bahwa ada hubungan antara pemberian persembahan -termasuk dalamnya persembahan persepuluhan- sebagai pelaksanaan kehendak Tuhan, dan keberhasilan dalam usaha.

Dalam Nehemia pasal 13 kita membaca, bagaimana dalam ketaatannya kepada hukum -Taurat- Nehemia melakukan hal yang sama dengan Hizkia yang disebutkan diatas, termasuk hal persembahan persepuluhan umat dan segala pengaturan persembahan yang lain juga. Dengan cara itu kehidupan umat itu kembali benar di mata Tuhan.

Kita belajar bahwa ada memang banyak hal yang menunjukkan kepautuahn kita terhadap kehendak Tuhan. Dan persembahan persepuluhan merupakan salah satu yang signifikan diantara semua itu.

Perjanjian Baru memberikan tanda yang jelas bahwa Persembahan Persepuluhan berlaku. Sejumlah orang yang membayarnya melakukan hal itu dalam kemunafikan, sehingga ditegur[5] oleh Yesus (Mat. 23/23; Luk 11/42; 18/12).

Pada akhirnya kita harus melihat kenyataan Jemaat- Jemaat Pertama. I Kor 9/ 7-14[6], 16/2[7], II Kor 8/1 -15[8], Gal 6/6[9]; I Tim 5/17-18[10] dan Ibr 7, semuanya menunjukkan bahwa hal persembahan persepuluhan tidak asing dalam Jemaat jemaat pertama. Justru sejajar dengan itu kita melihat juga bahwa ‘korban berdarah’ seperti yang jelas dalam tradisi makin memudar.

Kita belajar bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Perjanjian Baru yang memba-talkan atau yang mengusulkan penggantian pemberian Persembahan Persepu-luhan.

Doktrin Persembahan Persepuluhan Dalam Alkitab

Dari praktek yang diuraikan diatas, kita lalu bisa mengatakan bahwa ada dua fase yang bisa kita baca dalam keseluruhan Alkitab tentang persembahan persepuluhan. Fase pertama adalah Fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan hukum hukum Musa. Fase kedua adalah fase Perjanjian Baru yang ditandai dengan ajaran Yesus dan surat surat Pastoral, terutama surat surat Paulus.

Dalam fase Perjanjian Lama yang ditandai dengan Hukum Hukum Musa kita melihat beberapa hal penting yang bisa kita catat.

Pertama, Persembahan Persepuluhan itu diperintahkan sebagai sesuatu yang diharus-kan. (Im. 27/30; Mal.3/10).

Kedua, Persembahan Persepuluhan itu diberikan dengan beberapa kepentingan.

1 Untuk Orang Lewi (Bil 18/21 -24)

Orang Lewi tidak mendapat tanah sebagai milik pusaka. Mereka ditugas-kan untuk hal hal menyangkut Bait Allah. Karena itu mereka hidup dari persembahan persepuluhan umat.

2. Sepersepuluh dari sepersepuluh yang diberikan pada orang Lewi itu harus

mereka persembahkan sebagai persembahan persepuluhan mereka (Bil. 18/26; Neh 10/37; 12/44).

Jadi, sekalipun orang Lewi hidup dari persembahan persepuluhan, namun mereka tidak bebas dari hal mempersembahkan persembahan persepu-luhan itu sendiri.

3. Sepersepuluh dari persembahan persepuluhan setiap tiga tahun sekali diberikan kepada orang asing/miskin, orang Lewi, para janda dan anak yatim (Ul. 14/27-29; 26/12 – 14).

Dengan demikian jelas sekali bahwa peruntukan persembahan persepuluh-an adalah untuk menolong mereka yang sengsara.

4. Persembahan Persepuluhan itu untuk menjadi Persediaan di rumah Tuhan (Mal. 3/10).

Istilah Rumah Tuhan disini menunjuk pada Institusi atau persekutuan yang harusnya menjadi pelaksana kasih Allah dalam penggunaan persem-bahan Persepuluhan itu.

5. Persembahan Persepuluhan diberikan sebagai bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap Tuhan Allah (Ams. 3/9-10)

Hasil pertama yang disisihkan selalu berhubungan dengan persembahan Persepuluhan. Mempersembahkannya berarti memuliakan Tuhan sebagai penjamin berkat dalam kehidupan.

Ketiga waktu untuk membawa persembahan persepuluhan itu adalah secara tahunan, bersamaan dengan semua persembahan yang lain untuk upacara Hari Raya (Ul 12/6-7; 14/22-26).

Keempat bahwa Persembahan Persepuluhan itu adalah Milik Allah dan bukan milik orang yang mempersembahkannya (Im. 27/30 – 34; Mal 3/8).

Kelima kemana persembahan Persepuluhan itu harus di bawa, yakni ke rumah Tuhan (II Taw. 31/12; Neh. 10/38; 12/44; 13/5, 12; Mal 3/10).

Keenam, kalau persembahan persepuluhan itu dipinjam, maka ketika dibayar harus ditambahkan kepada pinjaman itu seperlima atau dua persepuluh. Dengan demikian keseluruhan yang dikembalikan adalah tiga persepuluh (Im 27/31)

Ketujuh kalau ditukar, maka yang ditukar berikut tukarannya harus dibayar (Im 27/33).

Dengan demikian jelaslah bahwa bagi dunia Perjanjian Lama, Persembahan Persepuluhan merupakan bagian dari hukum kehidupan, dalam hal ini, Hukum Taurat.

Dalam Fase Perjanjian Baru ketika Yesus Kristus mengajar maka Yesus Kristus juga menyinggung persembahan persepuluhan.

Kita bisa melihat tanggapan Yesus itu dalam Mat 23/23; Luk 11/42; Bd Mat 5/20 dgn Luk 18/11-12; Lihat juga Mat 10/10; Luk 16/16. Kesulitan kita adalah kebiasaan yang sifatnya ‘konkordatif’[11] dalam memahami Alkitab. Padahal, terhadap pertanyaan apakah Tuhan Yesus mempersembahkan persembahan persepuluhan, maka acuan kita mestinya bukan hanya kata kata ‘persepuluhan’ yang keluar dari mulut Tuhan Yesus. Sebagai putera Yahudi, pasti Yesus memberikan persembahan persepuluhan, sebab hal itu dilakukan sebagai hukum kehidupan keagamaan khas Yahudi. Maka kata kata Tuhan Yesus dalam Mat 5 : 17 – 20 bagi kita mestinya berarti bahwa bukan hanya Yesus, tetapi juga para muridNya adalah pelaksana pelaksana persembahan Persepuluhan.

Selain Yesus, Rasul Paulus juga bicara tentang hal yang sama:

1. Mengkritik pelanggaran terhadap hal hal yang menyangkut hal hal yang tabu

untuk dilakukan (Rm 2/22) atau perampokan terhadap Bait Suci (Mal 3/8 – 10)

dan penggunaan benda benda suci (Im 27)

2. Bahwa pengajar yang harus di beri bayaran (Gal. 6/6)

3. Bahwa Tuhan Allah menetapkan bantuan bagi para pelayanNya (I Kor 9/7-14, I

Tim 6/ 17-18).

4. Orang Kristen juga harus memberi sebab Allah sendiri telah memberkati mereka

dengan banyak berkat (I Kor 16/2).

5. Keturunan Abraham -terutama secara iman- harus berjalan dalam jejak jejak

iman yang dicontohkan Abraham.

6. Imamat Melkisedek adalah kekal dan karena itu harus dipelihara oleh keturunan

Abraham (Ibr 6/20; 6/1-11, 17, 21).

7. Persembahan Persepuluhan adalah bukti kepatuhan dan penghargaan atas berkat

berkat Tuhan (Rom 4/12; Ibr 7/6 -10; I Kor 9/ 7 – 14; I Tim 6/17 – 18; Bd. Mal

3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; Kej 14/20; Ul 8/10 – 20).

Berkat-berkat Berhubungan Dengan Persembahan Persepuluhan.

Alkitab juga bicara tentang berkat berkat, berhubungan dengan persembahan persepuluhan ini.

  • Berkat karena kepatuhan ( lihat diatas )
  • Rumah Tuhan tidak akan mengalami kekurangan (Mal. 3/10), sehingga tetap bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
  • Pelayan pelayan Tuhan tidak akan kelaparan (I Kor. 9/7 – 14; I Tim 5/17 – 18; Neh 13/8 – 10; Mal. 3/8 – 10.
  • Berkat material dan spiritual (Mal 3/8 – 10; Ams 3/9 – 10; II Taw 31; Neh 13).

Ada baiknya kita membuat beberapa kesimpulan sederhana tentang petunjuk petunjuk Alkitab yang sempat kita kumpulkan diatas.

Pertama jelas sekali bahwa persembahan persepuluhan itu punya dasar dalam Alkitab. Tokoh tokoh Alkitab mempraktekkannya dan mengajarkannya.

Kedua, jelas juga bahwa persembahan persepuluhan itu diharuskan oleh Alkitab. Ini berarti diperintahkan oleh Tuhan sendiri. Dan perintah Tuhan itu belum pernah dibatalkan.

Ketiga, bahwa persembahan persepuluhan itu bukan beban melainkan identi-tas umat beriman, sehingga harusnya dilakukan dengan sukacita. Bukan dengan rasa tertekan.

Keempat, persembahan Persepuluhan adalah milik Tuhan dalam keseluruhan berkat yang Tuhan berikan bagi umatNya. Dengan kata lain dalam berkat berkat kita ada bagian Tuhan sendiri yang harus disisihkan.

Kelima, dengan demikian dalam memberikan persembahan Persepuluhan kita harus sadar bahwa kita memberikan apa yang punya Tuhan. Bukan sedang menyumbang atau memperkaya institusi persekutuan orang percaya.

Keenam, jelas bahwa persembahan Persepuluhan itu dibawa ke Rumah Tuhan sebagai representasi persekutuan umat. Dan karena itu tidak ada alasan untuk memberikannya kepada pribadi, yayasan atau lembaga.

Ketujuh, penggunaan persembahan Persepuluhan itu oleh Institusi mestinya berakibat pelayanan yang lebih baik lagi sehingga institusi makin mampu membagikan kasih Allah bagi makin banyak orang.

Kedelapan, adalah salah -bahkan dinilai sebagai upaya menipu Tuhan- kalau orang mengabaikan persembahan persepuluhan. Bahwa ada persembahan lain, itu tidak meniadakan persembahan persepuluhan, sebagai sesuatu yang khusus.

Kesembilan mereka yang memberikan persembahan Persepuluhan, baik sebagai pribadi maupun sebagai persekutuan, diberkati oleh Allah. Namun harus jelas bahwa orang tidak bisa menyogok Tuhan Allah dengan memberikan persembahan persepuluhan.

Kesepuluh persembahan Persepuluhan itu berlaku bagi orang percaya disegala tempat dan segala zaman.

Pergumulan Pergumulan Kontemporer

Pergumulan kontemporer yang umum adalah bagaimana memahami persem-bahan Persepuluhan begitu rupa sehingga sekalipun kita berada pada era niaga dan sektor jasa, namun persembahan persepuluhan sebagai praktek beriman tetap bisa dilaksanakan dengan baik dan benar. Harus dikatakan bahwa secara umum, perkem-bangan perkembangan membuat kita tertolong. Misalnya saja tentang waktu pembe-rian persembahan persepuluhan itu. Jelas sekali bagi dunia Perjanjian Lama, itu diberikan secara tahunan. Ini karena latar-belakang pertanian dan penggembalaan. Dalam masyarakat seperti itu penghasilan baru akan jelas kelihatan secara tahunan. Dewasa ini kita tidak lagi harus menunggu setahun, tetapi bisa kita lakukan setiap bulan. Karena penghasilan kita -kecuali didaerah pertanian tradisional- adalah penghasilan bulanan, maka persembahan Persepuluhan juga harus diberikan setiap bulan. Misal yang lain adalah bahwa -lagi lagi kecuali di daerah pertanian yang sangat tradisional- kita tidak usah lagi membawa persembahan Persepuluhan dalam bentuk hasil pertanian atau peternakan. Kita bisa melakukannya dalam bentuk uang.

Pergumulan kontemporer khas Gerejawi ternyata lebih rumit dari pergumulan kontemporer yang umum. Dan salah satu contohnya adalah GPIB sendiri. Dalam hubungan ini barangkali kita mau melihat sejumlah -pasti tidak semua- pergumulan khas GPIB tentang persembahan persepuluhan.

Pergumulan awal tentang persembahan persepuluhan ada dua.

Yang pertama adalah apakah persembahan persepuluhan itu masih tetap wajib setelah Perjanjian Baru?. Jawaban tentang hal ini jelas. Bahwa fakta Yesus sebagai putera Yahudi dan Paulus yang banyak surat pastoral tidak pernah membatalkan ataupun mengganti persembah-an Persepuluhan. Darah Yesus di Golgota membatalkan korban korban berdarah. Bukan membatalkan persembahan Persepuluhan.

Pergumulan awal yang kedua adalah pertanyaan, apakah ini semacam ‘pajak’ bagi Gereja?. Jelas jawabnya tidak. Perlu diketahui bahwa dikalangan masyarakat seputar Israel sendiri ada yang memang menarik persepuluhan dari rakyat mereka. Ada yang ditarik untuk kepentingan Raja, ada yang ditarik untuk kepentingan tentara. Justru dalam Alkitab persepuluhan ditarik oleh Bait Allah yang tidak mempunyai kekuatan duniawi seperti Raja dan tentara. Tapi mengapa ini terus berjalan? Jawabnya, karena persembahan persepuluhan itu membuat persekutuan makin mampu membuat makin banyak orang mengalami belas-kasihan Allah.

Setelah pergumulan utama diatas, muncul berbagai pergumulan yang tak kurang beratnya, dibandingkan dengan pergumulan awal diatas. Berikut ini mau dicatat beberapa saja dari kebiasaan yang salah[12].

  • Kebiasaan salah pertama adalah mempersoalkan Persembahan Persepuluh-an dalam hubungan dengan PTB. Jawabnya sederhana. PTB itu terjadi karena GPIB belum mampu menerapkan aturan Alkitab yang namanya persepuluhan. Dalam Persidangan Sinode Tahun 2000 GPIB mulai memperhatikan hal persembahan persepuluhan ini[13]. Tapi dalam Persidangan Sinode Istimewa tahun 2004, GPIB makin bertobat dalam arti berusaha sebagai gereja untuk memberlakukan prinsip prinsip Alkitab, termasuk tentang persepuluhan[14]. Apakah PTB masih ada?. Jawabnya, masih ada dalam masa transisi. Tapi kita menuju ke persepuluhan. Apakah harus dobbel, PTB dan persepuluhan?, jawabnya tidak perlu. PTB itu aturan GPIB, Persepuluhan itu aturan Tuhan. Sekarang GPIB mengajak seluruh umatnya untuk mematuhi aturan Tuhan. Konkritnya, kalau sekarang kita melaksanakan Persepuluhan apakah kita boleh mengabaikan PTB?. Jawabnya, boleh sekali. Kalau ada yang mau tetap mempersembahkan PTB selain Persembahan Persepuluhan?. Boleh saja. Kalau ada yang mengangkat Persepuluhan, kemudian membaginya atas berbagai macam, termasuk PTB?. Jawabnya ya tidak boleh. Persepuluhan ya persepuluhan. Apakah tidak takut kolekte berkurang? Jawabnya, kalau kolekte berkurang tapi persembahan Persepuluhan bertambah, maka yang akan terjadi adalah saldo tambah. Bukan saldo kurang!.

Kebiasaan salah yang kedua, sebagaimana disinggung di atas adalah, adanya sejumlah orang yang mengklaim diri sebagai berhak atas persepuluhan, dan tidak mau memberikan persepuluhan. Sedihnya, orang orang ini sering adalah fungsionaris fungsionaris ibadah, termasuk lembaga atau yayasan independent yang bergerak dalam bidang yang sama. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian Alkitab. Ada sejumlah orang dengan roh materialistik yang mau memanipulasi Firman, khususnya mengenai persepuluhan. Jangan berikan kesempatan kepada orang-orang seperti ini. Kita harus menjaga agar jangan ada fungsionaris pelayanan gereja yang materialistik, dan ingin mengambil keuntungan dari persepuluhan. Tetapi kita juga harus mengingatkan umat agar jangan menjadi pelit kepada Tuhan lalu ‘menipu’ milik-Nya sendiri, yakni hak Tuhan atas persepuluhan. Kalau jelas bahwa Suku Lewipun harus memberikan persembahan Persepuluhan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa para fungsionaris pelayanan -termasuk pendeta yang hidup dari persembahan umat- tidak bisa membebaskan diri dari ketentuan Persembahan persepuluhan. Kitab Nabi Maleakhi 3:8–10 secara jelas mengatakan, bahwa orang yang tidak mempersembahkan persepuluhan dia menipu Tuhan. Kalau hidup seorang penipu terus-menerus bermasaalah dan berkekurangan, apalagi seorang penipu Tuhan. Besar kerusakannya.

Kita telah melihat data Alkitab yang persis, bahwa yang menjadi terminal terakhir Persembahan persepuluhan, adalah Rumah Tuhan. Dengan begitu yang dimaksud adalah persekutuan setempat dimana orang beribadah. Tidak ada data bahwa seorang dari Hebron memberikan persembahan persepuluhan ke Yerikho misalnya. Karena itu, maka juga tidak benar apabila seorang warga jemaat GPIB di Jakarta, mengirimkan Persembahan persepuluhannya ke GPIB lain di pos pelkes. Yang benar adalah GPIB tersebut di Jakarta -sebagai persekutuan- membantu GPIB di Pos Pelkes juga sebagai persekutuan.

Kebiasaan salah yang ketiga adalah, memberikan persepuluhan secara tahunan. Telah diuraikan diatas tadi, perbedaan pola penghasilan di Israel zaman PL dengan sistim kita yang bulanan. Maka persembahan persepuluhan juga seyogyanya diberikan secara bulanan. Kalau masih diberikan secara tahunan sebetulnya persepuluhan itu dipandang sebagai semacam PTB. Maka akan aneh kalau diumumkan, bahwa persepuluhan pak anu bulan September sekian, padahal beliau telah almarhum dibulan Juni!.

Kebiasaan salah keempat adalah angka persepuluhan yang mutlak harus sama. Justru tidak harus sama. Angka persepuluhan bisa fluktuatif, tergantung penghasilan. Disini kadang kadang ‘kedagingan’ masih bermain peranan. Seorang yang biasanya memberikan sekian, merasa ‘tidak-enak’ kalau bulan ini hanya memberi sekian. Padahal yang terjadi adalah perusahannya tutup, dia baru pension, panennya gagal dsb. Jangan merasa risih kalau penghasilan bulan ini lebih rendah dari bulan lalu. Adalah menyedihkan kalau dalam memberikan persembahan persepuluhan kita mencari kehormatan di mata manusia, sementara di mata Tuhan Allah kita justru butuh pertolongan.

Kebiasaan salah kelima adalah pemahaman tentang penghasilan yang sepersepuluhnya dipersembahkan. Sebetulnya persembahan persepuluhan adalah hal yang sangat pribadi. Penghasilan adalah penghasilan dan bukan modal kerja. Tegasnya, uang makan dan uang transport baik yang regular maupun karena penugasan khusus, bukanlah penghasilan dan karena itu tidak kena aturan persepuluhan. Mengapa demikian?. Karena modal kerja adalah benih. Bukan hasil. Persepuluhan tidak pernah dipersembahkan dari benih. Persepuluhan dipersembahkan dari hasil. Masalah kita memang menjadi rumit karena kemajuan. Yang pertama ada pekerjaan yang hanya memberikan gaji secara total, tanpa memperhitungkan transportasi, makan siang dsb. Pokoknya, sekian. Kalau ini yang terjadi, maka pribadi yang bersangkutan harus menghitung sendiri berapa penghasilan sesungguhnya. Dengan demikian kita terhindar dari kasus Ananias dan Safira. Yang kedua ada pekerjaan yang gajinya diberikan lewat rekening Bank. Jadi tidak ada amplop yang pulang kerumah untuk membuat Ibu rumah tangga membuat perhitungan. Penyelesaiannya sama saja. Hitung, dan jangan menjadi seperti Ananias dan Safira. Tentu saja ada orang yang mengangkat persepuluhan dari keseluruhannya, karena merasa semuanya adalah penghasilan. Boleh boleh saja.

Kebiasaan salah keenam adalah, sikap masa-bodoh terhadap pemeriksaan yang berdasar dalam pemahaman yang salah tentang Firman. Memang Tuhan Yesus mengatakan bahwa apa yang diberikan dengan tangan kanan, tidak usah diketahui tangan kiri. Ini benar kalau berarti bahwa kita tidak usah mempersoalkan untuk program yang mana persepuluhan digunakan, sebab ini kesepakatan program pelayanan. Akan tetapi kita wajib mencek apakah persembahan persepuluhan kita memang telah sampai ke perbendaharaan rumah Tuhan. Dan untuk itu, kita harus memeriksanya lewat warta keuangan. Namun kadang kadang terjadi ekstrim yang lain juga. Justru karena kita melihat ketidak-beresan management gereja sebagai institusi lalu kita batal memberikan persembahan Persepuluhan. Jawabannya sederhana. Perbaiki managementnya dan tuntut agar terus terjadi perbaikan. Tapi kalau kita berpikir bahwa karena manusianya salah maka hak Tuhan kita tahan dulu, rasanya kita salah dan tidak logis juga. Lain orang yang melakukan kesalahan, lain orang yang menerima ‘getahnya’.

Kebiasaan salah ketujuh adalah, penolakan secara mentah-mentah terhadap persembahan persepuluhan, karena memang tidak mau. Ada yang karena berpikir bahwa Gereja justru punya banyak uang. Ada yang berpikir bahwa dengan memberikan persembahan persepuluhan dia melayani hasrat materialistik institusi. Ada yang memang sayang akan uangnya. Namun ada juga yang menolaknya karena memandang dirinya begitu berkekurangan sehingga dia yang justru perlu dibantu. Orang seperti ini membutuhkan sejumlah pengalaman dari Tuhan untuk lebih beriman. Sebab ini bukan soal kaya-miskin. Ini soal ketaatan. Catatan kecil yang Tuhan Yesus berikan tentang janda miskin sangat menarik perhatian. Seorang janda, yang justru di bela oleh institusi Bait Allah, tetap memberikan persembahan. Tuhan ingin kita jujur dihadapan-Nya. Penerima bantuan diakoni tidak bebas dari persembahan persepuluhan.

Kebiasaan salah yang kedelapan yang menyangkut hampir seluruh umat adalah pada satu sisi pengabaian terhadap penilaian kinerja fungsionaris pelayanan, dan pada sisi yang lain, pengabaian terhadap program pelayanan itu sendiri. Suatu proses introspeksi diri yang serius dibutuhkan baik pada pribadi, mekanisme kerja, maupun beban program yang harus dilayani. Dengan demikian, persembahan umat mencapai maksudnya. Harap jelas bahwa kita bukan hanya menangani persembahan orang. Kita juga menangani ‘doa’ orang sejajar dengan persembahan itu.

Catatan catatan berikut akan dibuat justru setelah kita selesai pembahasan. Sebab pembahasan ini memang disempurnakan oleh catatan demi catatan dari jemaat ke jemaat.

Estehaka.-




[1] Istilah penggembala digunakan disini untuk membedakannya dari peternakan modern, dimana ternak ditempatkan ditempat yang tetap, tidak berpindah pindah. Dalam fase penggembala, tenaknya berpindah pindah mengikuti gembala yang mencarikan rumput dan air untuk ternak gembalaan.

[2] Dan Brown, penulis novel The DaVinci Code yang terkenal itu mengeksplorasi fakta antropologis ini untuk mengatakan bahwa model penyembahan sekarang yang berorientasi ‘ke atas’ adalah penyim-pangan. Penyembahan harus dikembalikan ke bawah. Dari sini dia memanfaatkan euphoria feminisme dan menuduh agama sekarang merupakan semacam penjajahan kaum maskulin. Ujung ujungnya yang harus disembah -menurut Brown- adalah Maria Magdalena dan bukan Yesus.

[3] Urutan surat dalam Alkitab yang digunakan disini adalah sebagaimana yang digunakan Gereja. Argumentasi akademis tentang tua-muda nya naskah asli sengaja tidak diperhitungkan.

[4] Penulis Surat Ibrani menuliskan suratnya kepada orang Kristen yang berlatar-belakang Yahudi dan karena itu pasti menggunakan latar belakang keyahudian, yang sekaligus berarti hubungan erat dengan Ibadah Israel juga.

[5] Yesus menegur mereka karena mereka mengabaikan kasih, dan menggunakan hal persem-bahan persembahan mereka -termasuk persepuluhan- sebagai semacam hak untuk menjadi sombong-rohani dihadapan Allah. Tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa Yesus tidak bersetuju dengan per-sembahan persepuluhan. Kita malahan harus mengatakan bahwa sebagai putera Yahudi yang taat, Yesus pasti mempersembahkan persembahan persembahan, termasuk persembahan persepuluhan.

[6] Disini Paulus bicara tentang hak dan kewajiban Rasul. Khusus dalam ay 13 Paulus menunjuk pa-da hak dan kewajiban suku Lewi yang ditopang oleh persembahan -termasuk persembahan persepuluhan- umat, namun Paulus sendiri menolak menggunakan hal itu.

[7] Paulus menganjurkan agar pada hari pertama tiap minggu pengumpulan uang bagi orang kudus dilaksanakan sesuai dengan perolehan umat. Persembahan itu harus disisihkan secara sengaja. Ini menun-juk secara jelas kepada Persembahan Persepuluhan.

[8] Disini Paulus mengajak orang Korintus agar meniru iman orang Makedonia, yang sekalipun ber-ada dalam kesulitan, tetap melaksanakan tugas iman mereka dalam bentuk persembahan. Tentu saja di-dalamnya termasuk persembahan persepuluhan.

[9] Kembali anjuran untuk membantu mereka yang memberikan ajaran dengan jalan membagikan kepada pengajar, apa yang ada pada yang diajar. Kembali kita melihat tugas dan peranan persembahan persepuluhan disini.

[10] Sama dengan Gal 6/6, hanya disini dikatakan secara lebih eksplisit, malahan para pengajar adalah penatua.

[11] . Kebiasaan konkordatif yang dimaksudkan adalah memeriksa kedalam konkordansi, apakah ada kata yang berhubungan dengan permasalahan secara eksplisit dalam ayat Alkitab. Kalau tidak ada, maka dianggap bahwa Alkitab tidak mempersoalkannya. Dalam pendekatan holistic, dimana semua hal di pertimbangkan, maka tafsiran Alkitab menjadi lebih dekat pada aslinya.

[12] Khusus mengenai inventarisasi kebiasaan yang salah ini, dirangkum dari berbagai pertanyaan lewat rubrik dalam Warta Jemaat. Karena itu inventarisasi ini bisa berubah dari jemaat ke Jemaat, entah bertambah, entah berkurang.

[13] Lihat buku Ketetapan PS XVII hal 98

[14] Lihat Ketetapan PSI tahun 2002 hal 46 dan 54.